Ini Tips untuk Hindari Jerat Pidana Bagi Direksi dalam Business Judgment Rule
Berita

Ini Tips untuk Hindari Jerat Pidana Bagi Direksi dalam Business Judgment Rule

Tidak semua keputusan direksi bisa dipidana, harus ada niat dan perbuatan jahat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam acara hukumonline tentang BJR di Jakarta, Kamis (25/7). Foto: RES
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam acara hukumonline tentang BJR di Jakarta, Kamis (25/7). Foto: RES

Pengambilan keputusan oleh direksi perusahaan mempunyai dua sisi ekonomis yaitu menguntungkan atau malah merugikan korporasi itu sendiri. Jika menguntungkan tentu saja tidak akan menjadi masalah sebab akan membawa profit dan bisa memajukan perusahaan itu sendiri. Keuntungan justru dapat dipergunakan untuk meningkatkan kinerja perseroan.

 

Sebaliknya, jika keputusan direksi merugikan korporasi, persoalan hukum dapat muncul. Apalagi berstatus BUMN atau BUMD yang dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN sebagai bagian dari keuangan negara dan dipertegas melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014.

 

Bila kerugian korporasi berstatus BUMN/BUMD maka bisa dibilang kerugian tersebut merupakan kerugian keuangan negara sehingga dapat berdampak pada direksi. Direksi yang berperan dalam kerugian itu mungkin tersangkut kasus korupsi. Salah satu contoh kasus terbaru adalah dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan.

 

Keputusan Karen mengakuisisi blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia menyebabkan dirinya dipidana. Diwarnai perbedaan pendapat, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta memvonis Karen bersalah melakukan korupsi karena mengakuisisi BMG sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp568,066 miliar.

 

(Baca juga: Pengadilan Tipikor Nyatakan Mantan Dirut Pertamina Terbukti Korupsi)

 

Kasus Karen ini ternyata cukup menyita perhatian. Bukan karena sosoknya sebagai Dirut Pertamina saja waktu itu tetapi timbulnya perdebatan apakah keputusan Karen masuk dalam kategori Bussiness Judgment Rules (BJR) ataukah memang merupakan suatu tindak pidana korupsi. Apalagi, dissenting opinion hakim Anwar menyatakan keputusan Karen merupakan BJR dan merupakan resiko bisnis. Perlu dicatat, kasus Karen belum berkekuatan hukum tetap.

 

Dalam diskusi yang digelar hukumonline dengan Tema "Implementasi Doktrin Bussiness Judgment Rules Versus Tindak Pidana Korupsi dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan" di Hotel Jakarta, Kamis (25/7) kemarin, ada seorang peserta yang menanyakan bagaimana seorang direksi mengambil keputusan tanpa mempunyai resiko terjerat kasus korupsi.

 

"Saran saya, semua dokumentasi bagus, notulensi bagus karena kita tidak mungkin ingat bertahun-tahun lalu. Direksi, mereka harus dicover asuransi, anytime itu bisa terjadi kita bisa kena istilahnya kanker uang kita dikuras, dan jangan pernah ada niat jahat ketika membuat keputusan," kata Guru Besar Fakultas Hukum UI Hikmahanto Juwana, menjawab pertanyaan dimaksud.

 

Menurut Hikmahanto, direksi perseroan dapat diibaratkan dokter. Jika ada pasien yang sangat membutuhkan pertolongan maka dia tetap harus mengambil keputusan. Apabila ia justru hanya berdiam saja tanpa mengambil keputusan apapun, maka direksi itu juga akan berisiko disalahkan.

 

"Itu sama dengan dokter yang harusnya ambil tindakan tapi dia tidak ambil tindakan, itu juga sama. Di agama saya (Islam) ada hadis seorang hakim apabila ambil putusan dan sesuai dengan jalan Yang Maha Kuasa maka pahalanya dua, kalau tidak benar satu. Direksi sepanjang tidak punya perilaku korupsi, niat jahat jangan dipidana," terangnya.

 

(Baca juga: Kenali Esensi dan Penerapan Business Judgment Rule)

 

Hikmahanto bercerita tentang pengalamannya dipanggil penegak hukum terkait kasus korupsi terkait posisinya sebagai komisaris suatu perusahaan. Padahal, kejadian itu terjadi bertahun-tahun lalu sehingga tidak mudah mengingat kembali kejadian tersebut. Direksi yang mengambil keputusan tapi berujung kerugian negara tidak bisa serta merta dikatakan perbuatan korupsi. Apalagi keputusannya itu tidak mempunyai niat dan tidak ada perbuatan jahat dalam mengambil keputusan yang dimaksud.

 

"Direksi itu bukan peramal, dia mungkin bisa konsultasi atau audit sebelum mengambil keputusan ini bener enggak ya? Nah kalau rugi asal memenuhi Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007-red), maka tidak bisa dipidana,” jelasnya.

 

Setidaknya ada 4 hal alasan direksi tidak bisa dipidana dalam aturan tersebut. Pertama kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Kedua telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ketiga tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. keempat telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 

Panitera Mahkamah Agung, Made Rawa Aryawan, menjelaskan hakim prinsipnya harus menemukan adanya mens rea dalam suatu tindak pidana. Jika hal itu tidak ditemukan maka sulit sekali memvonis orang bersalah karena melakukan tindak pidana termasuk kasus korupsi.

 

Made menyatakan setuju bahwa tidak semua keputusan direksi seperti BJR berujung pidana. Dari pengalamannya tidak banyak direksi suatu perusahaan BUMN yang dipidana karena mengambil keputusan walaupun berujung pada kerugian keuangan negara. Bahkan ada sejumlah hakim agung yang berpendapat setiap tindakan yang berdasarkan pada perjanjian tidak bisa dituntut secara pidana. "Jadi Bapak/Ibu jangan khawatir takut kena pidana asal itu kegiatan (keputusan itu) memang tidak ada niat pidananya," ujar Made.

 

Menurut Made yang pernah menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Manado ini, dalam merumuskan apakah seseorang melakukan seseorang melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur dari pasal yang didakwakan. Selain itu juga harus ada alat bukti dan fakta persidangan yang menguatkan surat dakwaan tersebut.

 

"Hakim melihat konstruksi fakta hukum yang ada di sidang, yang memenuhi unsur delik, apa memang melawan hukum apa tidak. Fakta hukum juga dilihat apakah fakta hukum akurat atau tidak," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait