Ini Tiga Sebab Lemahnya Kinerja Legislasi DPR
Berita

Ini Tiga Sebab Lemahnya Kinerja Legislasi DPR

DPR dinilai kurang sungguh-sungguh dalam upaya menyelesaikan target pembahasan RUU, upaya lobi DPR ke pemerintah belum maksimal, dan dinamika politik di DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ini Tiga Sebab Lemahnya Kinerja Legislasi DPR
Hukumonline

Kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mendapat sorotan publik. Sebab, kinerja legislasi DPR terutama target penyusunan dan pembahasan Rancangan UU (RUU) dinilai semakin menurun. Sebanyak 50 RUU yang ditetapkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, hingga masa persidangan V dibuka sejak 16 Mei lalu hingga 26 Juli 2018 hanya mampu merampungkan 4 RUU Prolegnas dan 2 RUU kumulatif terbuka.

 

Direktur Indonesian Parlemen Center (IPC) Ahmad Hanafi menilai target penyelesaian RUU mesti didasarkan pada assessment kebutuhan atau menggunakan instrumen atau alat ukur lain sebelum menentukan sebuah RUU masuk dalam daftar Prolegnas prioritas. Sehingga berdasarkan aspek assessment tersebut mudah diprediksi target penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas. Misalnya, mulai merancang jangka waktu penyusunan, pembahasannya, isu-isu yang mungkin menjadi pro kontra dan lainnya.

 

“Semestinya dalam proses tersebut dapat dibuat akuntabel dan terukur meski proses legislasi melalui proses politik. Mulai persoalan waktu pembahasan, partisipasi masyarakat, mekanisme perdebatan, representasi konstituen hingga transparansi dokumen,” kata Ahmad Hanafi di Jakarta, Rabu (15/8). Baca Juga: Hanya Hasilkan 4 RUU, Kinerja Legislasi DPR Disebut ‘Kemalasan Terlembaga’

 

Baginya, minimnya target capaian fungsi legislasi DPR disebabkan beberapa hal. Pertama, DPR dinilai kurang bekerja sungguh-sungguh dalam upaya menyelesaikan target pembahasan RUU. Kedua, upaya lobi DPR ke pemerintah sebagai mitra pembahasan RUU juga belum maksimal.

 

Ketiga, dinamika politik di parlemen menjadi bagian penyebab molornya pembahasan RUU, seperti fenomena pembelahan partai oposisi dan pemerintah di parlemen yang pada kenyataannya menghambat produktivitas DPR. “Idealnya, adanya blok partai oposisi dan partai pemerintah seharusnya bisa mempercepat proses pengambilan keputusan. Sebab, pihak-pihak yang berkompromi semakin sedikit.”   

 

Mengalami penurunan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai kinerja DPR di bidang legislasi kerap mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Salah satunya disebabkan, DPR cenderung lebih menyukai kerja-kerja bidang pengawasan atau anggaran. Sebab, hasil kerja selama delapan bulan di 2018, hanya menghasilkan 4 RUU Prolegnas Prioritas 2018.

 

Seperti, Revisi UU NO. 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3); Revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; RUU Kekarantinaan Kesehatan; dan Revisi UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak. Sementara dua RUU lain berstatus RUU kumulatif terbuka (Kum Tbk) yakni RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan dan RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2017.

 

“Bidang legislasi amatlah memprihatinkan. Target RUU Prolegnas masih menyisakan 46 RUU hingga akhir 2018. Mampukah mereka mencapai hasil maksimal dengan track record sejauh ini,” ujar Lucius Karius dalam konfrensi pers bertajuk “Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang V tahun Sidang 2017-2018” di Jakarta, Selasa (14/8/2018) kemarin.

Hukumonline.com

 

Berdasarkan capaian DPR di bidang legislasi dalam dua tahun terakhir penyelesaian dan pembahasan RUU menjadi UU mengalami penurunan. Melihat data itu, Lucius pesimis DPR bisa menyelesaikan RUU separuh dari target Prolegnas Prioritas 2018. Apalagi, sebagian besar anggota DPR telah disibukan dengan kampanye Pemilu 2019 terutama untuk mengamankan kursinya di parlemen.

 

“Seharusnya tahun politik tak boleh menjadi alasan bagi DPR untuk mengabaikan tugas dan tanggung jawab mereka,” ujarnya.

 

Formappi pun menilai buruknya kinerja legislasi DPR ini diperparah dengan “tradisi”  memperpanjang proses pembahasan RUU yang sudah melebihi tenggat waktu 3 kali masa sidang. Misalnya, pada awal masa sidang V saja, pimpinan DPR mengingatkan status 17 RUU yang pembahasannya sudah melebihi 5 kali masa sidang.

 

Nah, 10 dari 17 RUU itu adalah RUU Perkoperasian, RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kewirausahaan Nasional, RUU Sisnas IPTE, RUU KUHP, RUU Jabatan Hakim, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

Tak hanya buruk dari sisi kuantitas, sisi kualitas kinerja legisasi ini juga dinilai lemah. Misalnya, sepanjang tahun 2018, sebanyak dua UU dipersoalkan atau diuji materi ke Mahkamah Konstitusi yakni UU No.2 Tahun 2018 tentang MD3 dan UU No. 7 Tahun 2017 Pemilu. Dalam putusan MK pengujian UU MD3 ini, MK telah membatalkan sejumlah pasal isu krusial termasuk UU Pemilu.

 

“Ini sekedar membuktikan dari sedikitnya hasil UU saat ini, DPR juga gagap membuktikan kapasitasnya untuk menghasilkan UU yang berkualitas,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait