Ini Syarat Agar Lembaga KPK Bisa Tetap Eksis
Berita

Ini Syarat Agar Lembaga KPK Bisa Tetap Eksis

Syaratnya pimpinan KPK jangan terlibat politik aktif, profesional dalam menetapkan tersangka, serta mencari alat bukti dengan sah.

CR19
Bacaan 2 Menit
Suasana pansel KPK saat mewawancarai salah seorang capim. Foto: RES
Suasana pansel KPK saat mewawancarai salah seorang capim. Foto: RES

Delapan nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) sudah ditetapkan oleh panitia seleksi (pansel) telah diberikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Delapan capim KPK tersebut nantinya akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

Siapapun capim KPK yang terpilih, terdapat catatan dengan tujuan agar lembaga antikorupsi itu tetap eksis dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal itu diutarakan oleh Anggota Komisi Kejaksaan RI, Barita Lindung Hamonangan Simanjuntak. Menurutnya, ada tiga catatan yang bisa dilakukan pimpinan KPK terpilih untuk mempertahankan eksistensi KPK ke depan.

Pertama, pimpinan KPK tersebut jangan sampai aktif dalam kegiatan di partai politik (parpol). Sebab, jika aktif di kegiatan parpol, saat menjadi komisioner KPK rentan disusupi oleh kepentingan dari parpol tersebut. Ia mengingatkan, parpol seringkali menggunakan berbagai cara untuk menarik perhatian para pimpinan KPK.

“Parpol punya segala cara untuk menarik-narik para pimpinan KPK supaya pro pada kepentingan. Dan itu tidak salah dalam pertarungan politik, itu hal biasa sebab dalam politik itu adalah seni atau memperkuat kekuasaan,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (4/9).

Jika berpolitik secara aktif, lanjut Barita, dampaknya citra KPK secara institusi bisa menurun. Ia juga berharap, agar selama empat tahun menjabat pimpinan KPK terpilih nantinya menahan diri agar tidak tergiur terhadap ambisi politik. “Tapi untuk KPK hati-hati, supaya jangan sampai lembaga ini mengalami penurunan hanya karena digunakan salah satu komisioner melakukan kepentingan politik,” imbuhnya.

Selain aktif berpolitik, lanjut Barita, ke depan KPK juga perlu diawasi oleh instrumen pengawasan. Tujuannya agar tak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan KPK yang bisa membawa nama institusi sebagai lembaga penegak hukum. “Sudah saatnya KPK memikirkan hal itu. Yang tidak hanya sebatas seperti komisi etik ad hoc yang sifatnya dibentuk berdasarkan kebutuhan tapi dia permanen melakukan fungsi-fungsi pengawasan itu,” jelasnya.

Berkaitan dengan fungsi KPK di bidang penindakan, Barita mengkritik sejumlah hal terkait law enforcementyang dilakukan KPK. Kritiknya ditujukan karena beberapa waktu lalu sejumlah proses penetapan tersangka oleh KPK digugat dalam upaya praperadilan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya profesionalitas yang dimiliki KPK khususnya bagi para pimpinan KPK.

Meskipun praperadilan merupakan hak tersangka, lanjut Barita, namun hal itu mengisyaratkan ada yang tidak tepat dari proses penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Ia berharap, paling tidak ke depannya KPK harus profesional terutama dalam menetapkan minimal dua alat bukti sebagai dasar untuk menetapkan tersangka.

“Karena di tangan mereka ada pedang. Ada pedang untuk menumpas kejahatan sekaligus menunjukan target atau ambisi,” imbuhnya.

Tak hanya itu, untuk mengurangi potensi adanya gugatan praperadilan, Barita menambahkan, perlu ada standar operasional prosedur (SOP) yang diperbaharui dan diperkuat. Lebih lanjut dia berpesan agar KPK dalam bekerja tidak merekayasa proses penegakan hukum terutama berkaitan dengan penetapan dua alat bukti.

Di tempat yang sama, Koordinator Bantuan Hukum YLBHI Julius Ibrani menilai delapan capim yang lolos ke tahap fit and proper testadalah calon yang terbaik. Meskipun ada sejumlah catatan dari YLBHI, namun catatan itu minim. Menurutnya, catatan itu berkaitan dengan adanya capim yang tak melaporkan LHKPN serta capim yang tak mengetahui kalau KPK bisa mengangkat penyidik independen.

Meski begitu, Julius masih punya harapan kalau ke depan KPK akan bekerja semakin baik dalam pemberantasan korupsi. Kini, bola penentuan pimpinan KPK ada di DPR. Namun ia khawatir jika DPR tidak menggunakan metode seleksi dan wawancara yang digunakan oleh pansel KPK. “Senayan tidak pakai metode yang diterapkan pansel KPK,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait