Ini Strategi OJK Mengawasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital
Berita

Ini Strategi OJK Mengawasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital

Inovasi Keuangan Digital punya banyak manfaat positif, tapi di sisi lain risikonya juga banyak.

RED/YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sesuai amanat POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan menunjuk Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Penunjukan tersebut bertujuan untuk membangun sistem pengawasan Penyelenggara IKD secara efektif.

 

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan bahwa inovasi Keuangan Digital punya banyak manfaat positif, seperti meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, dan memenuhi kesenjangan pembiayaanuntuk UMKM. Tapi di sisi lain, risikonya juga banyak.

 

“Jadi kita perlu terapkan balanced regulatory framework, supaya sinergi optimal dengan Lembaga Jasa Keuangan dapat terbentuk namun perlindungan konsumen juga tetap terjaga,” kata Nurhaida, Jumat (9/8) lalu.

 

Menurut Nurhaida, penunjukan asosiasi ini akan mempermudah mekanisme koordinasi dan pengawasan IKD, serta diharapkan akan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dan membangun sinergi antar penyelenggara IKD.

 

Nurhaida menambahkan melalui pembentukan asosiasi, para penyelenggara IKD akan mudah membentuk ekosistem keuangan digital karena terdiri dari anggota dengan berbagai model bisnis. “Mereka bisa saling berinteraksi dan mendukung dalam menciptakan sektor keuangan digital yang sehat,” katanya.

 

Asosiasi yang kuat dan mengayomi anggotanya, lanjut Nurhaida, diharapkan dapat berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pengawasan Penyelenggara IKD. Kemurnian penyelenggara IKD dalam menjalankan code of conduct dan code of ethic akan menjamin penyelenggaraan layanan jasa keuangan digital yang bertanggung jawab dan memungkinkan terciptanya mekanisme pengawasan mandiri dan saling mengawasi antar penyelenggara IKD (self-control mechanism).

 

Nurhaida mengatakan melalui mekanisme ini, OJK akan sangat terbantu dalam pengawasan penyelenggara IKD. Hal ini juga merupakan pelaksanaan dari strategi pengawasan berbasis disiplin pasar yang sesuai dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bahwa fintech perlu diregulasi dengan menerapkan pendekatan light touch and safe harbour, sebagaimana disampaikan pada Bali Fintech Agenda dalam Rangkaian Acara Annual Meeting IMF-WB 2018.

 

Pendekatan pengawasan melalui pembentukan asosiasi merupakan prinsip pengaturan principle based regulation. OJK hanya membuat garis besar pengaturan, sementara teknis dari pengaturan ini akan dibuat oleh para pelaku industri.

 

Sehubungan dengan hal ini, asosiasi akan kembali mengambil peranan penting untuk merumuskan standar industri dan mengembangkan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD, termasuk pedoman perilaku model bisnis masing-masing anggota.

 

(Baca: Perlindungan Konsumen di Era Ekonomi Digital Masih Minim)

 

Lebih lanjut, tugas dan wewenang Aftech sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD diatur dalam SEOJK Penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD yang akan diterbitkan dan disampaikan ke publik dalam waktu dekat.

 

Sampai dengan Juli 2019, OJK melalui Grup Inovasi Keuangan Digital (GIKD) telah menetapkan 48 Penyelenggara IKD tercatat di OJK. Penyelenggara IKD yang memiliki status tercatat telah diperbolehkan untuk beroperasi sesuai dengan bisnis model yang diajukan dan dapat bekerja sama dengan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang terdaftar dan diawasi oleh OJK. OJK sesuai kewenanganya melakukan pemantauan berkala terhadap Penyelenggara IKD.

 

Seperti diketahui, sesuai data Satgas Waspada Investasi (SWI), sampai saat ini, jumlah Fintech Peer-To-Peer Lending tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK sesuai POJK Nomor 77/POJK.01/2016 yang berpotensi merugikan masyarakat pada tahun 2018 sebanyak 404 entitas sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 826 entitas sehingga secara total sejak 2018 yang telah ditangani sebanyak 1.230 entitas. Data ini termasuk tambahan penanganan yang dilakukan SWI pada 16 Juli 2019 sebanyak 143 Fintech Peer-To-Peer Lending Ilegal.

 

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap lokasi server entitas tersebut, sebanyak 42% entitas tidak diketahui asalnya, diikuti dengan 22% dari Indonesia, 15% dari Amerika Serikat, dan sisanya dari berbagai negara lain. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan identitas sesungguhnya dari pelaku di balik entitas tersebut.

 

Ketua Satgas Waspada Investasi Ilegal, Tongam Lumban Tobing mengatakan, walaupun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup kegiatan Fintech Peer-To-Peer Lending tanpa izin OJK, tetap saja banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore atau link unduh aplikasi yang diblokir tersebut.

 

“Masih banyak yang dapat diakses melalui media lain, sehingga masyarakat diminta untuk tidak mengakses atau menggunakan aplikasi Fintech Peer-To-Peer Lending tanpa izin OJK. Apabila ingin meminjam secara online, maka masyarakat agar melihat daftaraplikasi Fintech Peer-To-Peer Lending yang telah terdaftar di OJK pada website www.ojk.go.id,” kata Tongam.

 

Perlu diketahui juga bahwa Fintech Peer-To-Peer Lending Ilegal bukan merupakan ranah kewenangan OJK karena tidak ada tanda terdaftar dan izin dari OJK sedangkan yang menjadi ranah kewenangan OJK adalah Fintech Peer-To-Peer Lending yang terdaftar dan berizin di OJK. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Fintech Peer-To-Peer Lending yang terdaftar dan berizin di OJK maka OJK dapat melakukan penindakan terhadap Fintech tersebut.  

 

Tags:

Berita Terkait