Ini Regulasi yang Jadi Isu ‘Hot’ di Sektor Asuransi
Utama

Ini Regulasi yang Jadi Isu ‘Hot’ di Sektor Asuransi

Sebagai regulator, OJK diharap dapat segera mengatasi isu-isu regulasi di sektor asuransi.

FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Beralihnya tahun dari 2014 ke 2015 menyisakan pekerjaan rumah tersendiri di sektor usaha asuransi. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Julian Noor, mencatat setidaknya terdapat beberapa isu ‘hot’ yang masih menghiasi sektor asuransi tahun 2015.

Menurut Julian, mayoritas isu tersebut berkaitan dengan dampak regulasi yang telah terbit ataupun rencana pembuatan regulasi. Ia berharap seluruh isu ini segera dapat diatasi oleh regulator sektor asuransi, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ada beberapa hal yang akan menjadi isu menarik di tahun 2015,” katanya di Jakarta, Senin (9/3).

Pertama, lanjut Julian, berkaitan dengan dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa akhir desember 2014, perusahaan asuransi harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp100 miliar.

Sedangkan untuk perusahaan reasuransi, pada akhir Desember 2014 paling sedikit memiliki modal Rp200 miliar. “Pada tahun ini (2015, red), pemerintah akan tunggu hasil audited perusahaan asuransi yang laporan keuangannya paling lambat keluar di akhir April tahun ini,” katanya.

Atas dasar itu, lanjut Julian, isu ini harus segera diselesaikan oleh regulator. Menurutnya, OJK selaku regulator wajib mengawasi persoalan ini sehingga jelas perusahaan asuransi atau reasuransi mana saja yang belum memenuhi ketentuan tersebut.

“AAUI mendukung perusahaan anggota yang belum memenuhi ketentuan untuk bisa memenuhi, sehingga tahun ini tidak ada lagi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut,” ujar Julian.

Isu kedua, Julian menambahkan, berkaitan dengan konsep pengawasan berbasis risiko (risk based supervision). Menurutnya, pada bulan ini setiap perusahaan asuransi diwajibkan untuk menilai sendiri perusahaannya. Ada empat kategori penilaian, yakni sangat sehat, sehat, cukup sehat dan tidak sehat.

Penilaian yang dilakukan perusahaan asuransi tersebut harus melalui panduan yang dimiliki OJK. “Konsekuensinya, OJK akan concern mengawasi perusahaan yang tidak sehat dan cukup sehat. Sedangkan perusahaan sangat sehat dan sehat, tidak diprioritaskan pengawasannya,” tutur Julian.

Isu lainnya berkaitan dengan rencana pengawasan terintegrasi bagi konglomerasi di industri keuangan. Pengawasan ini diperlukan karena jika terjadi sesuatu terhadap industri keuangan bisa berdampak kepada industri keuangan yang lain. Menurutnya, dalam pengawasan terintegrasi ini, OJK akan menentukan entitas utama dari konglomerasi keuangan tersebut. Entitas utama tersebut bukan hanya ditempati oleh perbankan saja, tapi ada juga diduduki oleh perusahaan asuransi.

Berikutnya, berkaitan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Setidaknya, terdapat 43 POJK yang menjadi amanat dari UU tersebut. Namun, setelah dikelompokkan, terdapat 17 POJK yang akan segera disusun.

Dari 17 POJK tersebut, kata Julian, OJK berencana akan menyelesaikan sekitar sembilan POJK pada tahun ini. Rencana tersebut diketahuinya setelah bertemu dengan pihak OJK. Sembilan POJK tersebut, akan memuat mengenai sejumlah substansi. “Seperti perizinan, kesehatan keuangan, kegiatan usaha operasional, reasuransi, pengelola statuter dan likuidasi,” tutupnya.

Sebelumnya, OJK menyatakan terdapat 43 amanat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat peraturan. Seluruh amanat tersebut telah ditelusuri oleh OJK. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani mengatakan, dari 43 amanat tersebut, OJK akan menuangkan ke dalam 10 sampai 12 peraturan. Alasannya, karena ada klausul-klausul yang bisa disatukan ke dalam sebuah peraturan.
Tags:

Berita Terkait