Ini Rangkuman Hasil Konferensi Pengajar Hukum Keperdataan
Utama

Ini Rangkuman Hasil Konferensi Pengajar Hukum Keperdataan

Hukum Perikatan harus memuat prinsip-prinsip syariah, adat, BW lama, dan juga prinsip-prinsip dari anglo saxon.

RIA
Bacaan 2 Menit
Para akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan saat menggelar Konferensi di FH Udayana, Bali, 16-17 April 2015. Foto: RIA
Para akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan saat menggelar Konferensi di FH Udayana, Bali, 16-17 April 2015. Foto: RIA

Sejumlah akademisi dari Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) menggelar Konferensi Nasional Hukum Keperdataan Nasional II selama dua hari, 16-17 April 2015 di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali. Ada banyak hasil-hasil yang telah disepakati. Berikut adalah di antaranya:

APHK menilai bahwa membangun hukum perdata, khususnya hukum perikatan nasional merupakan sebuah pekerjaan rumah yang besar. Salah satu alasannya adalah karena ada banyak komponen yang perlu dimasukan ke dalam Hukum Perikatan Indonesia.

“Perlu kerja yang tidak ringan untuk membangun Hukum Perikatan Nasional Indonesia yang bernuansa prinsip syariah, adat, dan asas-asas konvensional dalam Burgelijk Wetboek (BW) untuk selanjutnya disesuaikan dengan masa kini dan menjawab tantangan di dalam hubungan internasional,” ujar Ghansham Anand yang mewakili pengurus APHK membacakan kesimpulan konferensi itu.

“Terlebih bidang perikatan ini sebagaimana diatur dalam BW saja, adalah merupakan bagian yang paling luas dalam bidang hubungan keperdataan,” imbuhnya.

Sebelumnya, pada sesi paralel di hari pertama, para guru besar di bidang keperdataan sudah memaparkan perlunya harmonisasi antara lini-lini hukum yang diakui berlaku di Indonesia. “Menggarap hukum perikatan, layaknya membangun rumah. Kita harus membangun rumah sesuai dengan rasa seni ataupun teknis sebagai warga negara Indonesia,” ujar Prof. M. Isnaeni dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

Ketika membangun hukum perikatan nasional, lanjutnya, prinsipnya jangan sampai meninggalkan jati diri bangsa. Prinsip-prinsip hukum adat bisa dibawa. Begitu pula perlu juga diperhatikan prinsip syariah yang sekarang sudah mulai berkembang dengan semakin banyaknya dikenal perbankan syariah.

“Semuanya bersinggungan dengan kehidupan berbangsa. Maka harus dikaji dengan seksama sehingga tidak jauh dari prinsip masyarakat kita,” tutur Prof. Isnaeni.

Selanjutnya, dalam sesi yang berbeda, Prof. RA Retno Murni dari FH Universitas Udayana memaparkan sistem hukum perikatan nasional dari sisi perikatan perdata. Ia mengatakan, dalam rangka menuju hukum perikatan nasional, kita akan mencoba asas harmonisasi, asas keseimbangan, supaya di antara semua prinsip yang ada nanti, kiranya tidak menimbulkan disharmonisasi. “Hal ini demi mencapai perikatan nasional yang bernuansa indonesia,” ujarnya.

“Kita akan melihat mana prinsip yang bisa diakomodir terhadap perikatan adat disamping juga hukum nasional. Karena kehidupan di kota pasti sangat berbeda dengan kehidupan yang masih di desa, yang masih sangat kuat adatnya,” ujarnya.

Guru Besar Hukum dari Unair Prof Abd Shomad sepakat bahwa yang bisa diseragamkan, ya diseragamkan, sedangkan yang tak bisa diseragamkan, tak perlu dipaksakan. “(Prinsip-prinsip) yang beda, biarkan itu jadi pluralisme. Seragamkan yang bisa diseragamkan,” tandasnya.

Disamping itu, Guru Besar Hukum dari Universitas Islam Indonesia Prof. Ridwan Khairandy menegaskan, Indonesia tidak perlu alergi untuk masuknya berbagai macam hukum lain. “Sejarah mencatat tidak ada satu pun negara yang murni menggunakan hukum negaranya. Jangan kita berfokus pada hukum adat saja,” katanya.

Kontrak Dagang Internasional
Sementara itu, Guru Besar Hukum dari Universitas Gadjah Mada Prof. Nindyo Pramono menyoroti hukum perikatan Indonesia dalam kancah kontrak dagang internasional. Ia menilai bila Indonesia tidak bisa mengadopsi hukum-hukum dari negara tetangga –yang menganut sistem hukum anglo saxon-, maka Indonesia akan terpinggirkan.

“Kita banyak hal yang kalah sama Malaysia dan Singapura. Perusahaan luar bikin cabang di Indonesia sangat banyak, sedangkan kita sebaliknya,” contoh Prof Nindyo.

Prof Nindyo melihat urgensi pembentukan hukum perikatan nasional ini dengan semakin mendekatnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Kita minta pemerintah kodifikasi hukum perikatan jangan ditunda-tunda,” ucapnya.

Ghansham kembali menambahkan bahwa perangkat Hukum Perikatan ini nuansanya guna menopang kegiatan bisnis yang hakekatnya sangat cepat berubah. Kendati nantinya perangkat yang terbentuk hanya yang pokok-pokok saja, diperlukan ketelitian dan konsistensi agar sistem yang terbentuk benar-benar handal mengakomodir dan menyongsong tantangan bisnis di dunia internasional yang jelas berkembang begitu cepat.

“Untuk itu segenap komponen wajib menaruh kepedulian yang sungguh-sungguh, lalu berkoordinasi merapatkan barisan demi membangun Hukum Perikatan Nasional Indonesia yang sudah waktunya dilaksanakan,” ujar Ghansham.

APHK juga berharap agar anggotanya aktif bekerja sama untuk mendorong munculnya perhatian pemerintah dan lembaga legislatif terhadap bidang hukum keperdataan. Hal ini guna tercapai segera pembaruan ketentuan-ketentuan hukum keperdataan khususnya hukum perikatan.

“Sebagaimana pula telah banyak dilakukan pembaruan di dalam putusan-putusan pengadilan yang telah menjadi yurisprudensi untuk menjawab kebutuhan dan tantangan di dalam kehidupan masyarakat, maka hal tersebut dapat diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional guna mewujudkan tujuan bangsa yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait