Ini Pesan Alm Bustanul Arifin Kepada Hakim Agama di Indonesia
Berita

Ini Pesan Alm Bustanul Arifin Kepada Hakim Agama di Indonesia

Dari mengingatkan peran sebagai ulama, hingga memutus berdasarkan hukum dan hati nurani.

Ali
Bacaan 2 Menit
Bustanul Arifin (kopiah putih). Foto: Istimewa
Bustanul Arifin (kopiah putih). Foto: Istimewa

Dunia peradilan Indonesia berduka. Satu lagi sosok begawan hukum pergi meninggalkan kita. Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Prof. Bustanul Arifin meninggal dunia setelah mengidap infeksi paru-paru pada Rabu pukul 11.30 WIB Rabu (22/4).

Keluarga, kolega dan para murid-murid Bustanul seakan tak ingin meninggalkan momen terakhir dengan mengantarkan profesor di bidang hukum Islam itu ke peristirahatan terakhirnya, di taman Makam Menteng Pulo, seraya mengingat pesan-pesan yang pernah dilontarkan sang profesor.

Mantan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Ahmad Kamil mengaku mengingat satu pesan penting, khususnya kepada hakim peradilan Agama, yang kerap disampaikan oleh bidan lahirnya kompilasi hukum Islam tersebut.

“Hakim (peradilan,-red) agama itu adalah hakim di mata hukum. Dan ulama di mata masyarakat,” ujarnya mengutip pandangan Prof. Bustanul ketika ditemui Hukumonline usai prosesi pemakaman Bustanul di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta, Kamis (23/4).

Pesan ini tentu bukan main-main. Kamil mengatakan bila merujuk kepada pesan ini, maka peran seorang hakim agama cukup berat. Tak hanya sebagai hakim, tetapi sebagai ulama. Ia hanya tersenyum ketika ditanya apakah peran hakim agama menjadi lebih besar dibanding hakim peradilan lainnya.

Kamil menilai sosok Bustanul sebagai seorang pakar hukum sekaligus orangtua yang punya lautan ilmu dan kebijaksanaan. “Beliau adalah bapak bangsa di bidang hukum. Beliau adalah inisiator Kompilasi Hukum Islam yang hingga kini menjadi hukum materil di peradilan agama. Itu sebuah karya besar,” ujarnya.

Sebagai informasi, Prof. Bustanul meninggalkan delapan orang anak, 15 cucu, dan tiga cicit.

Salah seorang putra Bustanul, Zul Irfan menceritakan sosok ayahnya yang bisa dijadikan contoh bagi hakim-hakim muda. “Bapak itu dari cerita-cerita yang disampaikan dan ungkapan teman sejawat adalah seorang hakim yang sangat jujur,” ujarnya.

Zul Irfan mengaku pernah berbicara dengan sobat ayahnya, mantan Hakim Agung Adi Andojo tentang bagaimana cara hakim-hakim dahulu bekerja. “Ketika zaman mereka, mereka bekerja sangat idealis, mengutamakan hukum, dan tidak kenal suap,” ujarnya.

“Di situ kami sebagai keluarga sangat bangga. Bapak dan beberapa rekan di MA telah menanamkan pilar-pilar kerkehakiman dengan baik. Itu pesan untuk para hakim muda,” tambahnya.

Zul menuturkan bahwa tak menampik bila mungkin ada godaan-godaan dari pihak luar ketika ayahnya bertugas, apalagi mengingat jabatannya yang cukup tinggi di MA. Namun, ia menegaskan keluarga tak terpengaruh karena ayahnya tak pernah membawa masalah pekerjaan ke rumah.

“Alhamdulillah kalau dilihat dari jabatannya memang tinggi, tapi kami dalam kondisi yang sederhana. Itu membuktikan kami tidak tergoda apapun,” tambahnya.

Berdasarkan panatuan hukumonline, sempat ada aksi solidaritas pengumpulan dana untuk Prof. Bustanul di dunia maya. Zul tak menampik adanya aksi itu. Namun, ia menegaskan bahwa itu semua bukan inisiatif keluarga, melainkan rekan-rekan sesama hakim atas nama persahabatan dengan ayahnya.

Gunakan Hati Nurani

Putra Bustanul yang lain, M Adil menambahkan ayahnya selalu mengingatkan para hakim junior untuk mengedepankan hati nurani. “Pesan bapak yang sering diingatkan terus, hakim harus memutus dengan hati nurani,” ujar pria yang kini bekerja di MA ini.

Adil juga mengungkapkan bahwa ayahnya kerap mengeluh dengan kondisi hukum di Indonesia belakangan ini. Salah satunya adalah bagaiamana seorang calon hakim agung harus melamar ke Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurutnya, cara “melamar” seperti itu tidak tepat diperuntukan untuk seorang hakim agung.

Selain itu, Adil juga menuturkan bahwa ayahnya kerap mengkritik aturan bahwa hakim tak boleh sama sekali menemui pihak berperkara. Ia menjelaskan aturan ini dipandang Prof Bustanul akan menimbulkan mafia hukum. “Kalau nggak bisa bertemu dengan hakim, maka nanti ada orang yang mengaku-ngaku mengatasnamakan hakim tersebut. Itu kata bapak saya,” ungkapnya.

Tags:

Berita Terkait