Ini Perkara Harta Gono Gini yang Ditangani Adik Ipar Nurhadi dengan Fee Rp23 Miliar
Berita

Ini Perkara Harta Gono Gini yang Ditangani Adik Ipar Nurhadi dengan Fee Rp23 Miliar

Meski NO, tapi ada pertimbangan signifikan hakim PK yang menguntungkan klien Rahmat.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit

“Bahwa sebagai konsekuensi atau akibat hukum yang timbul dalam perceraian antara Penggugat dan Tergugat yang terdapat harta bersama, maka sesuai Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan karenanya Penggugat berhak atas setengah bagian/50% atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dan karena semula perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dilangsungkan tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta dan semua harta tersebut diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat,” tulis memori PK yang juga tertera dalam putusan.

Apalagi melihat gelagat dari Tergugat dalam hal ini Freddy, penggugat yaitu Tjindrawati khawatir harta gono gini atau harta bersama tersebut di atas akan digelapkan atau dialihkan kepada orang lain. Oleh karena itu wajar apabila terhadap harta bersama tersebut dimohon kepada Ketua Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk meletakkan sita marital.

Bahwa kekhawatiran tersebut di atas adalah sangat beralasan karena akhir-akhir ini Tergugat ingin menjual atau mengalihkan kepada pihak lain berikut tanah, bangunan, mobil-mobil dan uang yang terletak pada bank-bank tersebut sebagaimana dimaksud di atas dengan berbagai cara. Petitum dalam gugatan ini yaitu; mengabulkan gugatan untuk seluruhnya, menyatakan harta-harta yang dimaksud diatas dibagi rata masing-masing 50 persen, meletakkan dan menyatakan sita marital terhadap harta bersama yang dimaksud.

Putusan pengadilan

Pada tingkat pertama, PN Bandung menolak gugatan dalam konvensi Tjindrawati tetapi menerima gugatan rekonvensi yang diajukan Freddy dengan menyatakan sah secara hukum Akta Perjanjian Perkawinan No. 66 tertanggal 27 Januari 1994, yang telah dibuat di hadapan Albertus Sutjipto Budihardjoputra, SH, Notaris di Bandung.

Dalam pertimbangannya, majelis yang dipimpin H. Nur Hakim ini menyatakan Akta Perjanjian Perkawinan No. 66 tertanggal 27 Januari 1994 adalah fakta bahwa perjanjian perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut dibuat oleh Penggugat dan Tergugat di hadapan Albertus Sutjipto Budihardjoputra, SH selaku Notaris di Bandung. Dan adalah fakta bahwa isi perjanjian perkawinan bukti tersebut dibuat dengan tidak melanggar batas-batas hukum yang berlaku, agama dan kesusilaan

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-13 yakni berupa Surat dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Bandung No. 470/1913- Disdukcapil, tertanggal 08 Desember 2011, perihal “Perjanjian Perkawinan”, jelas adalah fakta bahwa Pegawai Pencatat Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota hanya melakukan pencatatan atas suatu perjanjian perkawinan,” terang majelis dalam putusan Nomor 285/PDT/G/2011/PN.BDG.

Hal ini berarti tindakan pengesahan yang berupa hanya pencatatan tersebut bukanlah mengenai keabsahan dari suatu perjanjian perkawinan, dan pencatatan tersebut tidak mempengaruhi berlakunya perjanjian perkawinan diantara para pihak dalam perjanjian perkawinan tersebut, namun pencatatan tersebut adalah menyangkut berlakunya perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga yang tersangkut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait