Ini Penyebab Mandeknya Pembahasan RUU Narkotika
Utama

Ini Penyebab Mandeknya Pembahasan RUU Narkotika

Ada perbedaan di internal pemerintah. Cara paling tepat menangani pengguna atau pecandu narkotika melalui dekriminalisasi dalam UU Narkotika yakni penghapusan sanksi pidana terhadap perbuatan, dalam hal ini penggunaan dan penguasaan narkotika untuk kepentingan penggunaan pribadi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang yang menewaskan puluhan narapidana menjadi duka mendalam. Over kapasitas jumlah narapidana yang tak sebanding kapasitas ruangan menjadi terus menjadi persoalan klasik. Salah satu persoalan besarnya lantaran lebih dari setengah jumlah narapidana hampir di setiap lapas atau rumah rahanan (rutan) merupakan kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (psikotropika). Di sisi lain, sebagai salah satu solusi mengatasi over kapasitas lapas-rutan pembahasan revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum menunjukan hasil.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) Firman Subagyo mengatakan belum rampungnya pembahasan revisi UU 35/2009 menimbulkan pertanyaan kalangan anggota dewan. Padahal, sejak 2020, revisi UU 35/2009 telah masuk dalam daftar prolegnas prioritas dengan nomor urut 30 dan daftar Prolegnas Prioritas 2021 dengan nomor urut 26. Hingga September 2021 nasib pembahasan revisi UU 35/2009 masih belum menunjukan hasil signifikan.

Hingga kini, pemerintah pun belum menyodorkan Surat Presiden (Surpres), naskah akademik, dan draf RUU Narkotiika. Padahal, kata Firman, keberadaan UU Narkotika hasil revisi sangat dibutuhkan untuk mengatasi peredaran narkotika. Termasuk mengubah sistem agar lapas dan rutan tak lagi dipenuhi oleh terpidana ataupun tersangka kasus narkotika.

“Awalnya inisiatif DPR, kita sepakat diambil alih pemerintah. Tapi sampai sekarang Revisi UU Narkotika itu terlupakan. Apakah pemerintah masih serius atau tidak?” ujar Firman Subagyo dalam Rapat Baleg pekan lalu di Komplek Gedung Parlemen.

Firman meminta pemerintah serius menyusun rumusan draf RUU Narkotika. Meski Firman memahami di internal pemerintah terjadi tarik-menarik kepentingan mengingat masih adanya ego sektoral, namun publik amat menanti perubahan terhadap UU 35/2009. Terlebih, revisi UU 35/2009 menjadi bagian memperbaiki sistem dalam pengelolaan warga binaan di lapas atau rutan.

“Kalau tidak (serius, red), kami mengusulkan DPR mengambil alih RUU. Karena UU ini untuk memenuhi kebutuhan publik,” katanya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengakui UU 35/2009 menjadi biang masalah overcrowding dalam lapas dan rutan di Indonesia. Dia mengamini pandangan Firman soal materi muatan UU 35/2009 tak relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Apalagi 50 persen lebih isi lapas dan rutan diisi oleh narapidana yang tersandung kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.

“Itu sesuatu yang sangat aneh. Satu jenis kejahatan mendominasi lapas. Jadi semua jenis kejahatan kalah dengan jenis kejahatan narkotika,” kata dia.

Dia menilai adanya kejanggalan di hulu hingga hilir dalam penanganan warga binaan di lapas disebabkan regulasi atau sistem yang dibangun tidak tepat. Itu sebab Yasonna sepakat dan mendorong agar UU 35/2009 diubah. Dia mengklaim selama ini kementerian yang dipimpinnya telah serius mendorong revisi UU 35/2009. "Pemerintah sudah serius dan mau mengubah UU 35/2009,” kata Yasonna.

Namun, Yasonna membocorkan adanya perbedaan di internal pemerintah. Sayangnya Yasonna enggan membeberkan perbedaan antar institusi mana saja dan soal apa saja perbedaan pandangan soal perubahan UU 35/2009 tersebut. Terhadap perbedaan tersebut, Yasonna mengaku telah menghubungi Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk menengahi masalah ini.  

Bila tak dapat ditengahi perbedaan tersebut oleh Menkopolhukam, Yasonna mengatakan akan membahas revisi UU 35/2009 ke tingkat yang lebih tinggi. Menurutnya, keputusan kelanjutan pembahasan revisi UU 35/2009 di internal pemerintah sangat penting. “Revisi ini mutlak harus diselesaikan. Kalau tidak, kita tidak akan bisa menyelesaikan persoalan lapas. Saya belum menyerah untuk menyerahkan ke DPR,” ujar mantan anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) periode 2009-2014 ini. 

Dekriminalisasi

Peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menilai Menkumham memiliki kewenangan mempercepat proses revisi UU Narkotika. Presiden Joko Widodo melalui Menkumham harus berani mengambil tindakan cepat dan strategis terkait kebijakan narkotika. Sebab kesalahan dalam UU 35/2009 antara lain, pengguna seringkali dijerat dengan pasal penguasaan, pembelian, dan kepemilikan yang seharusnya menjerat pihak-pihak yang terlibat peredaran gelap.

Menurutnya, seluruh warga binaan pemasyarakatan kasus narkotika yang terjerat pasal penguasaan, pembelian, kepemilikan dan penyalahgunaan seharusnya dinilai kondisi penggunaan narkotikanya. Bahkan, harus dikaji latar belakang kasusnya. Bila terdapat indikasi penggunaan dan atau kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi, maka harus segera dikeluarkan dari lapas.

“Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, maka harus diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman, mengedepankan pengurangan dampak buruk,” ujarnya melalui siaran pers.

Maidina berpendapat percepatan pembahasan RUU Narkotika untuk menjamin perlindungan dan pendekatan kesehatan bagi penggunaan narkotika. Cara paling tepat menangani pengguna atau pecandu narkotika melalui dekriminalisasi dalam UU Narkotika yakni penghapusan sanksi pidana terhadap perbuatan, dalam hal ini penggunaan dan penguasaan narkotika untuk kepentingan penggunaan pribadi.

Cara tersebut dinilai penting untuk mendorong alternatif kebijakan narkotika Indonesia. Dekriminalisasi bakal menempatkan narkotika kembali dalam diskursus persoalan pendekatan kesehatan yang membawa manfaat. Seperti terkendalinya tingkat penggunaan narkotika, akses layanan kesehatan, dan meringankan beban kapasitas lapas-rutan.

“Dekriminalisasi juga bisa diselaraskan dengan sanksi administratif atau model lain di luar pemidanaan.”

Dengan langkah tersebut, kata dia, pemerintah dan aparat penegak hukum dapat fokus pada sektor pemberantasan peredaran gelap narkotika dalam rezim kejahatan terorganisir. Bukan sebaliknya, malah menyasar tindakan penggunaan atau kepemilikan untuk kepentingan pribadi. “Kebijakan narkotika dengan pendekatan pemidanaan selama ini terbukti gagal. Dengan begitu, perlu segera dikembalikan pada pendekatan kesehatan,” katanya.

Tags: