Industri jasa keuangan merupakan salah satu titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat kejatahan korupsi yang melibatkan pihak swasta meningkat.
Kepala Satuan Tugas di Dit. Anti Korupsi Badan Usaha, Kedeputian Pencegahan Monitoring KPK, Dwi Aprillia Linda A menjelaskan berbagai modus kejahatan korupsi dapat terjadi berkaitan dengan sektor jasa keuangan. Setidaknya, dia mengidentifikasi terdapat tujuh modus korupsi.
Modus-modus tersebut antara lain, penyalahgunaan kredit dengan tujuan menguntungkan pihak tertentu yang merugikan perusahaan; jaminan kredit fiktif karena sudah ada kesepakatan jahat antara oknum perbankan dengan penerima kredit; penempatan asuransi atas perolehan tindak pidana korupsi; pencucian uang atas tindak pidana korupsi. Selanjutnya, fee perbankan kepada bendahara di kementerian/lembaga/pemerintah daerah; fee perbankan kepada terkait penempatan dana deposito kepada pegawai negeri/penyelenggara negara; fasilitas gratifikasi (kartu kredit dll) kepada pegawai negeri/penyelenggara negara.
KPK mencatat total kerugian negara akibat korupsi sektor finansial mencapai Rp 45,06 triliun sepanjang 2016-2021. Sektor yang termasuk kategori finansial yaitu perbankan, sosial kemasyarakatan yang beririsan dengan asuransi, pasar modal. Sehingga, jumlah kasus korupsi sektor finansial mencapai 35 kasus pada 2016-2021.
Baca Juga:
- Sistem Manajemen Anti Penyuapan “Benteng” Industri Jasa Keuangan Terjerat Tipikor
- Belanja Online Bakal Kena Bea Meterai, Pahami Seluk-beluk Pengaturannya
- Meski Sepele, Konsumen Harus Perhatikan Hal Ini Saat Gunakan Layanan Perbankan
Dwi mengungkapkan KPK telah menangani perkara korupsi yang melibatkan industri jasa keuangan. Sehingga, dia mengimbau agar industri jasa keuangan menerapkan sistem manajemen anti suap (SMAP) untuk menutupi celah tipikor. Selain itu, dia juga menekankan pentingnya bagi industri jasa keuangan dan pelaku usaha lainnya menjunjung tinggi etika berbisnis sesuai dengan regulasi.
“Apa yang sebenarnya ingin dicapai dalam berusaha, tidak hanya mengejar growth tapi juga sustainability dengan etika bisnis. Sehingga dibutuhkan regulasi,” ungkap Dwi.