Saat dikonfirmasi Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi belum mau berkomentar. "Maaf saya bisa komentar, saya sedang rapat ini," kata Suhadi.
Pada 18 April 2016, MA telah menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan Perma ini, pengajuan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Dengan begitu, Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK termasuk banding.
Intinya, beleid ini mengatur setiap putusan praperadilan tidak bisa diajukan upaya hukum PK ke MA. Aturan ini guna mengakhiri kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh-tidaknya pengajuan PK perkara praperadilan demi kepastian agar tidak menunda-nunda perkara pokoknya.
MA beralasan pemeriksaan perkara praperadilan ini menyangkut formalitas menyangkut keabsahan prosedur sah-tidaknya penangkapan, penahahan, sah-tidaknya penghentian penyidikan yang cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama. Sebab, faktanya selama ini cukup banyak perkara praperadilan diajukan PK. Praktiknya, pengajuan PK perkara praperadilan umumnya ditolak majelis hakim agung, meski ada yang mungkin dikabulkan.
MA menerbitkan Perma ini guna kepastian dan menjaga kesatuan hukum menyikapi perkembangan praperadilan. Namun Perma ini belum cukup komprehensif mengatur semua persoalan yang menyangkut praktik praperadilan.
putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan perluasan objek praperadilan terutama soal pembatasan hak praperadilan bagi buronan (DPO),” kata Supri.
pengaturan yang lebih rigid tentang praperadilan.Pertama, masalah terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan proses praperadilan. Sebab, saat ini tidak ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu praperadilan. “Antara praktik dan norma hukum terjadi disparitas yang cukup tinggi terkait jangka waktu pelaksanaan Praperadilan,” kata Supri.
Kedua,masih dibutuhkan pengaturan khusus terkait hukum acara dalam praperadilan. Soalnya, secara umum pengaturan mengenai hukum acara praperadilan dalam KUHAP kurang memadai dan tidak jelas. Dalam praktik hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata. Akibatnya, seringkali muncul kontradiksi antara dua hukum acara tersebut, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan tidak menguntungkan bagi tersangka dalam memanfaatkan mekanisme praperadilan
Ketiga, perlu pengawasan terhadap praktik sidang praperadilan karena ketersediaan informasi baik akses informasi maupun laporan terkait praktik Praperadilan di setiap pengadilan tidak signifikan. Keempat, perbaikan manajemen perkara praperadilan di tingkat Pengadilan Negeri (PN). “Jadi, mekanisme Praperadilan ini harus direformasi total karena Perma ini belum komprehensif mengatur soal praperadilan.”