Ini Lima Rekomendasi Penyelamatan KPK untuk Jokowi
Berita

Ini Lima Rekomendasi Penyelamatan KPK untuk Jokowi

Melakukan revisi UU KPK bak membuka kotak Pandora.

FNH
Bacaan 2 Menit
STH Indonesia Jentera, PSHK serta ICW menggelar acara diskusi
STH Indonesia Jentera, PSHK serta ICW menggelar acara diskusi "Setahun Pemerintahan Jokowi dan Masa Depan KPK", Rabu (29/10). Foto: RES
Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. Rencana revisi UU KPK ini memang mendapatkan penolakan dari publik lantaran beberapa klausul pasal yang justru ‘mengebiri’ KPK. Lantas apakah penundaan ini dinilai tepat?

Ikrar Nusa Bakti, Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan bahwa penundaan revisi UU KPK tersebut dinilai tidak tepat. Dalam situasi politik seperti saat ini, rencana revisi UU KPK seharusnya dihentikan. Jika pemerintah nantinya tetap akan melakukan revisi UU KPK dengan situasi politik saat ini, maka hal tersebut akan membahayakan KPK.

“Revisi UU KPK ini cuma ditunda, seharusnya ditiadakan. Sekali RUU KPK ini masuk ke DPR, maka tidak ada yang akan menghentikan. Katakan NO untuk revisi UU KPK,” kata Ikrar dalam sebuah diskusi di Sekolah Tinggi Hukum Jentera/PSHK, Jakarta, Kamis (29/10).

Ikrar menegaskan, seharusnya tak ada negosiasi terhadap revisi UU KPK, baik untuk menunda maupun memperpanjang masa pembahasan revisi UU KPK. Revisi UU KPK harus dihentikan lantaran rencana tersebut justru akan membunuh KPK. Namun demikian, Ikrar juga menegaskan bahwa bukan hal yang mustahil UU KPK akan direvisi dengan syarat kondisi politik Indonesia sudah stabil.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter sepakat dengan Ikrar. Ia bahkan mengungkapkan ada lima catatan kritis yang sekaligus menjadi rekomendasi bagi penyelamatan KPK kepada pemerintahan Presiden Jokowi.

Pertama, jangan ada seleksi ulang capim KPK. Menurut Lalola, meski masih ditemukan tiga capim KPK yang memiliki rekam jejak yang potensial kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi, seleksi ulang capim KPK justru kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi karena akan menghabiskan lebih banyak waktu, anggaran, dan tak ada jaminan calon-calon yang akan terpilih memiliki kualitas yang baik.

Kedua, penghentian kriminalisasi pegiat anti korupsi. Keputusan Presiden untuk menghentikan kriminalisasi tentu tidak dapat dianggap sebagai intervensi hukum yang merugikan upaya penegakan hukum.

“Hal ini justru harus diambil karena proses hukum yang berjalan terhadap kedua komisioner non-aktif KPK ini, sarat dengan kepentingan-kepentingan non hukum yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melemahkan dan memperlambat kerja KPK,” kata Lola.

Ketiga, penghentian pembahasan revisi UU KPK. Eksistensi KPK terancam melemah melalui proses legislasi. Keempat, jangan revisi remisi untuk koruptor. Menurut Lola, revisi tersebut potensial besar bertentangan dengan semangat penjeraan koruptor dan upaya pemberantasan korupsi.

Kelima, mengontrol anggota cabinet dan parpol pendukung pemerintah untuk sejalan dengan semangat Presiden Jokowi dalam memberantas korupsi. “Jokowi harus tegas untuk memberantas korupsi,” pungkasnya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti menambahkan bahwa melakukan revisi UU KPK saat ini sama ibaratnya dengan membuka kotak Pandora. “Sekali dibuka itu kotak Pandora, setannya keluar semua,” kata Bivitri pada acara yang sama.

Penundaan revisi UU KPK tersebut, lanjutnya, dikarenakan karena Presiden Jokowi tengah fokus pada persoalan ekonomi Indonesia yang saat ini tengah menurun. Namun Bivitri berpandangan, seharusnya fokus ekonomi tersebut diikuti dengan kepastian hukum di dalam dunia bisnis, terutama investasi.

Bivitri justru heran bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak terlalu memperhatikan sektor hukum. “Dunia bisnis memerlukan rule of law, tapi pemerintahan sekarang kok tidak begitu memperhatikan persoalan hukum,” tambahnya.

Saat ini, lanjutnya, harapan pemberantasan korupsi ada di tangan publik. Romo Benny Susetyo, seorang Rohaniawan dan Pengamat Sosial mengatakan bahwa kekuatan Presiden Jokowi ada pada rakyatnya. Rakyat harus siap untuk mengingatkan Jokowi tentang komitmen pembarantasan korupsi yang dituangkan dalam Nawacita.

“Sebenarnya sudah ada political will  dari Jokowi untuk memberantas korupsi. Tapi satu tahun pertama berfikir untuk pertumbuhan ekonomi. Sama dengan zaman orde baru,” kata Romo Benny.

Korupsi yang terus meningkat tiap tahunnya, lanjut Romo Benny, dikarenakan korupsi tak pernah dianggap sebagai permasalahan bersama. Sehingga, watak korupsi yang telah ada sejak zaman pemerintahan VOC menjadi habbit. Culture yang tidak berubah menyebabkan peradaban Indonesia tidak akan pernah maju.

Menurut Romo Benny pemerintah harus memiliki cara untuk memutus tali korupsi. Korupsi dimulai dari partai politik yang seolah melegalkan praktik korupsi untuk memberikan setoran kepada parpol. Salah satu caranya adalah dengan melakukan revisi UU Parpol. “Dengan aturan yang jelas dan ketat,” imbuhnya.
Tags:

Berita Terkait