Ini Gagasan Muhammadiyah dalam Pemberantasan Korupsi
Utama

Ini Gagasan Muhammadiyah dalam Pemberantasan Korupsi

Diperlukan revolusi teologis untuk mencegah perilaku korupsi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kejahatan korupsi telah mengakar dan menghantam jantung birokrasi.  Budaya korupsi pun sudah menjangkit masyarakat. Meski telah ada lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK, korupsi masih saja terjadi. Oleh sebab itu, dibutuhkan rekonstruksi baru dalam upaya pemberantasan korupsi tak saja bersifat legal formal, struktural, namun juga kultural dan teologis keagamaan.

Hal itu disampaikan Ketua Majelisi Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP), Muhammadiyah, M Nurul Yamin dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Kamis (10/3). “Dibutuhkan rekontruksi baru dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Gerakan pemberdayaan masyarakat mesti menggunakan pendekatan virus approach. Dengan begitu, kata Yamin, akan meninggalkan bekas yang luas dan masif. Menurutnya, model pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Muhammadiyah setidaknya berdampak dalam pengentasan kemiskinan, korupsi, serta persoalan sosial masyarakat lainnya.

Gagasan tersebut di atas kertas setidaknya bakal berjalan baik. Namun di lapangan, mesti membutuhkan sinergisitas dan kemitraan dengan pihak lain. Kerja pemberdayaan masyarakat pengentasan korupsi dengan berjejaring dan bergandengan tangan dalam mengatasi persoalan korupsi di masyarakat. Misalnya, melakukan kerjasama dengan media massa yang notabene mitra strategis dalam memperkuat kerja-kerja pemberdaya masyarakat pengentasan korupsi.

Selain itu, penguatan lembaga negara anti korupsi. Menurutnya, negara memiliki trisula anti korupsi yakni KPK, kepolisian dan kejaksaan. Namun dalam melaksanakan kerja-kerja pemberantasan korupsi, ketiga lembaga penegak hukum itu mesti bersih dari perilaku korupsi. Kemudian, penguatan koalisi masyarakat sipil anti korupsi sebagai kekuatan civil society.

Tak hanya itu, langkah lainnya yakni dengan merevolusi teologis. Ia berpendapat ketika korupsi tidak lagi dipandang sebagai dosa besar, maka korupsi tak dapat diberantas dengan tuntas. Oleh sebab itu, dibutuhkan perubahan cara pandang terhadap kejahatan korupsi dari aspek teologis.

“Ketika kita melihat wajah yang ceria dengan senyum di bibir para tertuduh korupsi yang dikenal sebagai tokoh agama, boleh jadi mereka memandang korupsi sebagai tindakan yang tidak termasuk dosa. Jika pun tergolong tindakan dosa, korupsi bukanlah dosa yang tidak bisa diampuni Allah. Bila demikian, diperlukan revolusi teologis untuk mencegah perilaku korupsi,” ujarnya.

Ketua PP Pemuda Muhamadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan gerakan pemberdayaan masyarakat anti korupsi perlu diperkuat. Sebab karena korupsi semua aspek kehidupan menjadi rusak. Kemiskinan masyarakat menjadi salah satu dampak dari aksi korupsi keuangan negara. Korupsi disebabkan buruknya tata kelolan pemerintahan dan perekonomian yang tidak kompetitif lantaran diisi oleh mereka pemburu rente. “Anggaran publik dirampok,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat perlu diingatkan buruknya pelayanan publik akibat dari perilaku pejabat korup. Sayangnya, korupsi kerap kali berada di ruang elit dan hukum. Oleh sebab itu isu korupsi mesti digeser menjadi gerakan masyarakat. “Korupsi ini harus digeser menjadi gerakan umat atau masyarakat,” ujarnya.

Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menambahkan, dengan meleknya masyarakat terhadap perilaku korupsi para pejabat negara, maka berpeluang banyaknya gerakan masyarakat melawan korupsi. Gerakan anti korupsi tidak melulu dilakukan oleh lembaga pengak hukum, namun juga kelompok masyarakat.

Peran organisasi kemasyarakatan dalam memberikan informasi dan pendidikan terhadap anti korupsi masti maksimal. Dengan begitu, peran masyarakat dalam pengawasan terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik dapat maksimal. “Dampak korupsi menghancurkan distribusi sumber daya. Semua masalah di negeri ini kerap berujung ke korupsi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait