Ini Dia Perpres Tentang Syarat Pengadaan Peralatan Pengamanan Keamanan
Berita

Ini Dia Perpres Tentang Syarat Pengadaan Peralatan Pengamanan Keamanan

Peralatan pengamanan dan keamanan dalam industri pertahanan terdiri dari alat utama sistem senjata, alat pendukung dan alat perlengkapan.

RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Produk Industri Pertahanan dengan Kontrak Jangka Panjang.

 

Perpres itu ditandatangani pada 29 April 2019 lalu. Dalam Perpres ini disebutkan bahwa, Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam), adalah segala alat perlengkapan untuk mendukung pertahanan negara serta keamanan dan ketertiban negara, mulai dari alat utama sistem senjata, alat pendukung dan alat perlengkapan.

 

“Pengadaan Alpalhankam sebagaimana dimaksud huruf a dilakukan dengan Kontrak Jangka Panjang,” bunyi Pasal 2 ayat (2) Perpres tersebut sebagaimana dikutip dari laman resmi Setkab, Rabu (8/5).

 

Untuk pengadaan alat pendukung dan alat perlengkapan dilakukan dengan kontrak jangka panjang jika memenuhi sejumlah kriteria. Pertama, digunakan sebagai alat material khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kedua, digunakan sebagai alat utama dalam rangka melaksanakan tugas pokok kementerian dan/atau lembaga.

 

“Jenis produk Alpalhankam yang dilakukan dengan Kontrak Jangka Panjang ditetapkan oleh Ketua KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) dengan mempertimbangkan usulan pengguna melalui mekanisme pengambilan keputusan KKIP,” bunyi Pasal 2 ayat (4).

 

Selain Alpalhankam, menurut Perpres ini, pengadaan Alpalhankam dapat dilakukan dengan kontrak jangka panjang sepanjang memenuhi kriteria proses produksi lebih dari satu tahun, memenuhi persyaratan operasional, memiliki spesifikasi teknis sama selama kurun waktu lima tahun atau lebih dan/atau bernilai strategis sesuai kebutuhan pengguna.

 

Pengadaan Alpalhankam dengan kontrak jangka panjang, menurut Perpres ini, harus memenuhi persyaratan. Mulai dari tercantum dalam Rencana Induk Pemenuhan Kebutuhan Alpalhankam yang ditetapkan oleh Ketua KKIP, dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau pimpinan lembaga, dan dapat diproduksi oleh industri pertahanan.

 

“Pengadaan Alpalhankam untuk pertahanan negara dilakukan oleh menteri, pengadaan Alpalhankam untuk keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan oleh menteri, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), atau pimpinan lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 5 ayat (2) Perpres ini.

 

Disebutkan dalam Perpres ini, pengadaan Alpalhankam dengan Kontrak Jangka Panjang dilakukan dalam bentuk pengadaan barang pemerintah atau penugasan pemerintah. Pengadaan barang pemerintah tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Baca:

 

Sementara penugasan pemerintah tersebut dapat digunakan untuk Alpalhankam dengan tingkat kerahasiaan tinggi, penelitian dan pengembangan untuk prototipe Alpalhankam dan/atau tahap lanjutan dari prototipe untuk menghasilkan produk yang siap untuk diproduksi massal (first article) Alpalhankam.

 

Selanjutnya pengendalian dan pengawasan pengadaan Alpalhankam dengan Kontrak Jangka Panjang, menurut Perpres ini, dilaksanakan oleh Ketua Harian KKIP, yang diatur dengan Peraturan Menteri. “Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2019, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 2 Mei 2019 itu.

 

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Bondan Tiara Sofyan mendorong agar pertahanan nirmiliter menjadi bagian dari program nasional yang harus diemban oleh seluruh kementerian/lembaga dalam menghadapi kompleksitas ancaman non-militer.



Ia menyebutkan, pembangunan pertahanan nirmiliter dilatarbelakangi oleh dinamika perubahan paradigma ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.



"Ancaman yang semula bersifat konvensional (militer), saat ini dan kemungkinannya ke depan akan didominasi oleh ancaman yang bersifat non-militer ataupun kolaborasi keduanya dan bersifat multidimensional," katanya seperti dikutip dari Antara.

 

Ancaman tersebut, lanjut dia, dapat dilakukan oleh aktor negara atau aktor non-negara serta berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keselamatan umum maupun ancaman berdimensi legislasi. "Itulah sebabnya permasalahan pertahanan menjadi sangat kompleks sehingga penanganannya tidak hanya bertumpu pada kementerian yang membidangi pertahanan saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh instansi terkait sesuai bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi," kata Bondan.

 

Hal itu sesuai dengan amanat UU No 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara, pasal 7 ayat 2 bahwa sistem pertahanan negara menghadapi ancaman non militer menempatkan kementerian/lembaga diluar bidang pertahanan sebagai unsur utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa dengan mendayagunakan pemerintah daerah.

Tags:

Berita Terkait