Pertama, konstruksi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlampau rinci. Namun melupakan aspek lain seperti soal asas. Menurutnya, meski terorisme sebuah kejahatan besar, namun asas dalam RUU mesti diatur, misalnya asas kesetaraan. “Pemberantasan dan pencegahan mestinya tak selalu fokus pada agama, rasa tau kelompok tertentu,” ujarnya, Selasa (8/3).
Kedua, dalam UU 15/2003 dan UU No.9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak mengatur definisi terorisme. Yang ada, hanyalah beberapa aturan terkait orang yang melakukan tindakan tertentu dipidana dengan hukuman tertentu. “Tetapi istilah terorisme itu sendiri tidak didefinisikan,” ujarnya.
Penggunaan frasa teror-isme perlu dikaji mendalam. Pasalnya, frasa isme memiliki makna paham, konsep pemikiran, dan ideologi. Sehingga, terorisme dapat dimaknai sebuah paham, konsep pemikiran maupun ideology yang menganut ajaran dan tindakan teror. Oleh sebab itu, frasa terorisme perlu didefinisikan untuk kemudian disepakati agar tidak menjadi abu-abu yang ujungnya menimbulkan tindakan serampangan dalam menentukan seseorang pelaku teroris, atau sebaliknya.
Ketiga, UU 15/2003 mengatur pemberantasan teorisme. Nah dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mesti mengatur aspek pecegahan. Pemberantasan memiliki konotasi tindakan dilakukan setelah peristiwa terjadi. Sedangkan pencegahan, memiliki arti tindakan agar perstiwa tidak terjadi.
Keempat, perkembangan teknoloho amat memungkinkan teror dilakukan secara melalui dunia maya. Teror jenis tersebut dapat berbentuk tayangan teror di media online, system instalasi ciber yang memungkinkan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kelima, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini beroperasi tidak bedasarkan UU, namun Peraturan Pemerintah.
Ia berharap dengan adanya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, BNPT menjadi lebih kuat dalam melakukan fungsi koordinasi pencegahan dan pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh instansi lainnya. Menurutnya, bisa menjadi bahaya kalau suatu lembaga sangat powerfull, tetapi aspek hukumnya tidak jelas dan lengkap berpotensi serampangan.
“Problem koordinasi antar stakeholder perlu diperjelas, karena di sini lubangnya. Selama ini terkesan seolah-olah hanya menjadi tugas lembaga tertentu saja, sementara TNI seolah tidak perlu dilibatkan sama sekali,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Anggota Komisi III Taufikulhadi berpandangan, banyak persoalan yang mesti dibenahi dalam UU 15/2003. Menurutnya efektivitas UU 15/2003 kurang melindungi hak asasi manusia terhadap orang yang salah tangkap. Selain itu, perlindungan terhadap korban salah tangkap tak diperhatikan. “Oleh karena itu, RUU ini akan menjadi afektif bersamaan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” imbuhnya.
Tak hanya itu, politisi Nasional Demokrat (Nasdem) ini mencatat penguatan koordinasi dalam pelaporan intelijen terkait dugaan adanya upaya melakukan teror. Ia menilai laporan intelijen tidak serta merta menjadi alat untuk menuding seseorang terlibat aksi teror. “Itu harus hati-hati, jangan ada lapora kemudian orang dipersalahkan. Itu harus dipertegas,” ujarnya.