Ini Catatan Buruh Setahun Pemerintahan Jokowi-JK
Utama

Ini Catatan Buruh Setahun Pemerintahan Jokowi-JK

Menilai kebijakan upah dan jaminan sosial.

ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh. Foto: SGP
Demo buruh. Foto: SGP
Kalangan pekerja mengevaluasi satu tahun berjalannya pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam pandangan kalangan pekerja, kebijakan pemerintah yang menyasar sektor perburuhan selama setahun ini mendapat rapor merah. Sekretariat Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi, mengatakan setidaknya ada tiga hal yang jadi sorotan buruh yaitu kepastian pendapatan, kerja dan jaminan sosial.

Pemerintah telah menerbitkan beberapa paket kebijakan ekonomi terkait kepastian pendapatan. Menurut Rusdi, tidak satupun yang mendorong peningkatan kesejahteraan buruh, khususnya berkaitan dengan penetapan kenaikan upah minimum. Semua paket kebijakan itu dinilai mengakomodasi kepentingan pengusaha, karena pemerintah memberikan bermacam insentif bagi dunia usaha.

Rencana pemerintah menerbitkan RPP Pengupahan, misalnya, dinilai Rusdi merugikan buruh. Sebab, dalam regulasi itu acuan yang jadi dasar kenaikan upah minimum hanya inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi saat ini, jumlahnya hampir 10 persen. Menurut Rusdi dengan menggunakan acuan itu maka kenaikan upah minimum tahun depan diperkirakan tidak lebih dari 10 persen. Oleh karenanya ia menilai saat ini pemerintah masih menerapkan kebijakan upah murah.

“Kami menolak kebijakan itu karena semakin memiskinkan buruh. Kebijakan itu menyebabkan upah buruh di Indonesia semakin tertinggal dengan upah buruh di negara tetangga,” kata Rusdi dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (19/10).

Rusdi juga melihat pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi di beberapa daerah. Namun, sampai saat ini tidak ada tindakan riil pemerintah melindungi buruh. PHK itu paling parah dialami buruh outsourcing di perusahaan swasta dan BUMN. Padahal, DPR lewat Panja Outsurcing di BUMN sudah merekomendasikan pemerintah untuk mengangkat pekerja outsourcing di BUMN menjadi pekerja tetap.

Hingga satu tahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan, persoalan buruh outsourcing di BUMN itu tidak pernah direspon positif. Padahal, sudah semestinya BUMN patuh terhadap aturan hukum, sehingga menjadi contoh perusahaan swasta. “Fakta yang terjadi di lapangan buruh outsourcing di BUMN bukannya diangkat jadi pekerja tetap malah di PHK,” tukasnya.

Berikutnya menyangkut pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan lewat BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Rusdi mengatakan pemerintah belum mencakup seluruh masyarakat yang tidak mampu untuk jadi peserta BPJS Kesehatan. Akibatnya, ada sebagian masyarakat yang bisa mengakses jaminan sosial kesehatan.

Lalu untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, Rusdi mengatakan pemerintah mengenakan pajak progresif. Sehingga manfaat JHT yang diterima buruh jadi lebih kecil karena harus dipotong pajak progresif. Menurutnya kebijakan itu aneh, sebab jaminan sosial adalah program negara.

Biasanya, dikatakan Rusdi, buruh yang mengambil manfaat JHT itu mengalami PHK. Harusnya lewat program itu negara hadir memberi dukungan. Tapi yang terjadi saat ini pemerintah malah memotong manfaat JHT yang diterima buruh lewat pengenaan pajak progresif. Selain itu Rusdi mengkritik rendahnya besaran iuran jaminan pensiun (JP) sebesar 3 persen dari upah sebulan.

“Melihat dari tiga aspek itu kami sebagai buruh menilai pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK tidak serius melindungi buruh. Kami nilai rapor Jokowi-JK dalam satu tahun ini merah,” ujar Rusdi.

Pimpinan Geber BUMN, Yudi Winarno, mengingatkan pemerintah Jokowi-JK agar serius menindaklanjuti rekomendasi Panja Outsourcing BUMN. Pasalnya, ia menilai selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan belum ada kebijakan yang menyasar penyelesaian masalah-masalah buruh outsourcing di BUMN. “Sampai saat ini pemerintah belum mengimplementasikan rekomendasi Panja Outsourcing,” urainya.

Yudi menegaskan, persoalan buruh outsourcing di BUMN sudah sangat jelas yakni terjadi pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Sebab, BUMN mempekerjakan pekerja outsourcing pada pekerjaan inti. Padahal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tegas mengatur buruh outsourcing tidak boleh mengerjakan pekerjaan inti. Jika perusahaan melanggar maka sanksinya adalah mengangkat buruh outsourcing yang bersangkutan jadi pekerja tetap.

Tak ketinggalan Yudi mengingatkan ketika Presiden Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, sempat memberi dukungan secara tertulis agar buruh outsourcing di BUMN diangkat tetap. Baginya, dukungan itu perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan riil untuk buruh outsourcing.
Tags:

Berita Terkait