Ini Aturan Denda Bagi Eksportir SDA yang Tidak Simpan Uangnya di Dalam Negeri
Berita

Ini Aturan Denda Bagi Eksportir SDA yang Tidak Simpan Uangnya di Dalam Negeri

Menkeu mengingatkan setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa. Khusus Devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pada 1 Julis 2019, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98/PMK.04/2019 tentang Tarif atas Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Penyetoran Sanksi Administratif Berupa Denda atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

 

PMK ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif atas Sanksi Administratif Berupa Denda atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/ atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).

 

Dalam PMK ini disebutkan, setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.  Khusus Devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia. “DHE SDA sebagaimana dimaksud berasal dari hasil barang Ekspor: a. pertambangan; b. perkebunan; c. kehutanan; dan d. perikanan,” bunyi Pasal 3 ayat (2) PMK ini seperti dilansir situs Setkab, Kamis (4/7).

 

Menurut PMK ini, Eksportir wajib memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia sebagaimana dimaksud melalui penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.

 

“Penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor,” bunyi Pasal 5 ayat (2) PMK ini.

 

DHE SDA pada Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini,  dapat digunakan oleh Eksportir yang menempatkan DHE SDA tersebut untuk pembayaran: a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor; b. pinjaman; c. impor; d. keuntungan/dividen; dan/atau e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

 

Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud  dilakukan melalui escrow account, PMK ini menyebutkan, Eksportir wajib membuat escrow account tersebut pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.

 

Dalam hal escrow account sebagaimana dimaksud pada telalh dibuat di luar negeri, menurut PMK ini, Eksportir wajib memindahkan escrow account pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sanksi Denda

Menurut PMK ini, dalam hal Eksportir tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.

 

Sementara dalam hal Eksportir menggunakan DHE SDA pada Rekening khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan sebagaimana dimaksud, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai DHE SDA yang digunakan untuk pembayaran di luar ketentuan.

 

“Terhadap Eksportir yang tidak membuat escrow account sebagaimana dimaksud atau tidak memindahkan escrow account di luar negeri pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing sebagaimana dimaksud , Eksportir dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang ekspor,” bunyi Pasal 8 ayat 3 PMK ini.

 

(Baca: Potensi Pelanggaran Implementasi PP DHE yang Perlu Diantisipasi Pemerintah)

 

Denda sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, disetor ke Kas Negara sebagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari hak negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

 

Menurut PMK ini, Kepala Kantor Pabean melakukan perhitungan denda sebagaimana dimaksud dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pelanggaran. terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud.

 

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga diterbitkan Eksportir tidak melunasi kewajibannya, menurut PMK ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai: a. menerbitkan surat penyerahan tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya; b. mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor; dan c. menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.

 

“Hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan bahwa Eksportir telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor,” bunyi Pasal 12 PMK ini.

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. pengenaan sanksi administratif berupa denda dan permintaan penjelasan tertulis; b. pengenaan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor; c. tata cara penyampaian penagihan atas pengenaan sanksi administratif berupa denda; dan d. pembayaran denda, menurut PMK ini, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

 

“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.04/2019 yang telah diundangkan oleh Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana, pada 1 Juli 2019.

 

Sebelumnya, pengamat ekonomi Indef Ahmad Heri Firdaus berpendapat pemerintah harus menyiapkan instrumen kebijakan yang tidak setengah-setengah untuk mencegah timbulnya celah kecurangan dalam implementasi PP 1/2019. Maksudnya, sanksi administrasi yang diatur didalam PP DHE masih memberikan celah kepada pelaku usaha untuk tetap berbuat curang.

 

Bagi Heri, sanksi administrasi yang diterapkan oleh pemerintah harus kuat. Jika tidak, bukan tak mungkin pelaku usaha lebih memilih melakukan kecurangan dengan denda yang kecil, karena mendapatkan keuntungan yang besar.

 

“Kalau misalnya pelaku usaha tahu hukuman lemah, hukuman denda yang tidak seberapa, dan mereka akan berpikir mendingan bayar denda dan melakukan pelanggaran karena untungnya jauh lebih besar daripada denda. Jangan ada celah seperti itu, gawat kalau ada orang memilih melanggar aturan karena enforcement-nya kecil. Nah ini harus diperjelas dulu bagaimana aturan teknisnya,” kata Heri kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.

 

Selain itu, Heri menilai bahwa pemerintah harus melakukan antisipasi terkait adanya kemungkinan lahirnya perusahaan-perusahaan baru, terutama perusahaan-perusahaan baru yang lahir karena perusahaan sebelumnya mendapatkan sanksi pencabutan izin. Dalam kasus seperti ini, sudah sepantasnya pemerintah mencatat nama pihak-pihak yang terlibat dalam setiap perusahaan yang melakukan pelanggaran dan izinya dicabut. Tujuannya untuk menghindari potensi pelanggaran yang sama.

 

“Perusahaan lama dicabut izin, terus bikin perusahaan baru dan orangnya sama. Nah itu sama aja bohong. Yang semacam-semacam itu harus diantisipasi juga sama pemerintah, oleh Bank Sentral dan OJK. Artinya harus ada hukum yang lebih kuat sehingga pelaku usaha enggak bisa melakukan ini, untuk coba-coba seperti itu,” tambahnya.

 

Tags:

Berita Terkait