Ini Aturan Baru Kewajiban Pencantuman Label Bahasa Indonesia
Berita

Ini Aturan Baru Kewajiban Pencantuman Label Bahasa Indonesia

Banyak ketentuan yang dihilangkan, namun ada beberapa hal yang sebelumnya tidak diatur muncul dalam Permendag baru ini.

Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Pengaturan mengenai penerbitan surat keterangan kewajiban pencantuman label dan bahasa Indonesia maupun surat pembebasan atas kewajiban tersebut, dinilai sudah tidak relevan. Untuk itu, Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menerbitkan aturan baru yang merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.67/M-DAG/PER/11/2013. Dengan demikian, ketentuan mengenai kewajiban pencantuman label bahasa Indonesia maupun pembebasannya mengacu pada Permendag No.73/M-DAG/PER/9/2015.

Jika dibandingkan dengan Permendag sebelumnya, aturan teranyar ini memiliki jumlah pasal yang lebih sedikit. Hal ini lantaran dalam aturan baru memang banyak ketentuan yang dihilangkan. Namun demikian, ada pula beberapa hal yang sebelumnya tidak diatur, kini muncul dalam Permendag ini.

Misalnya, dalam peraturan baru ini tak ada lagi ketentuan mengenai Surat Pembebasan Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia (SPKLBI). Sebelumnya, SPKLBI menjadi dokumen yang menerangkan bahwa barang yang diproduksi di dalam negeri telah memenuhi ketentuan pencantuman label. Atau, label yang dicantumkan pada barang impor telah memenuhi ketentuan. SPKLBI ini menjadi dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor.

Selain itu, penentuan subjek yang wajib melakukan pencantuman label dalam bahasa Indonesia dalam barangnya. Di dalam Pasal 2 Permendag baru, muncul satu ayat yang menjelaskan siapa pihak yang harus melakukan hal tersebut. Untuk barang produksi dalam negeri, maka produsen yang harus mencantumkan label bahasa Indonesia. Sementara itu, barang asal impor harus diberikan label oleh importir. Dalam Permendag sebelumnya, hanya diatur bahwa pelaku usaha yang melakukan impor bertanggung jawab terhadap barang yang diimpornya.

Terkait dengan mekanisme pencantuman label, secara umum tak ada perbedaan dari peraturan saat ini maupun yang terdahulu. Keduanya mewajibkan pencantuman label secara permanen. Hanya saja, jika dalam Permendag tahun 2013 ada larangan penggunaan label dalam bentuk stiker,kini label yang bisa dilepas (stiker) hanya dinyatakan rusak. 

Pasal 5 Permendag 2015 mengatur lebih luas mengenai identitas pelaku usaha yang harus dicantumkan dalam label. Label tak hanya wajib memuat identitas produsen atau importir, tetapi juga harus menyertakan identitas pedagang penumpul. Kewajiban tersebut hanya berlaku jika barang yang diperdagangkan merupakan hasil produksi pelaku usaha mikro maupun pelaku usaha kecil.

Kewajiban pencantuman label menjadi tak berlaku bagi beberapa barang tertentu. Secara limitatif disebutkan dalam Pasal 8 Permendag 2015 ada dua jenis barang yang mendapat pengecualian itu. Pertama, barang curah yang dikemas dan diperdagangkan secara langsung di hadapan konsumen.

Kedua, barang yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro dan pelaku usaha kecil. Akan tetapi, jika barang hasil produksi pelaku usaha kecil atau mikro itu dijual dengan mencantumkan merek milik pedagang pengumpul, maka pedagang pengumpul berkewajiban mencantumkan label.

Pasal 14 memberi batasan waktu bagi pedagang pengumpul atau pelaku usaha lain yang terkena kewajiban pencatuman label untuk melakukan penyesuaian. Paling lama satu tahun sejak Permendag 2015 berlaku, semua pihak yang harus melakukan pencantuman label wajib menjalankan ketentuan Permendag.

Itu artinya, pada 28 September 2016 semua barang yang dijual di Indonesia sudah memiliki label berbahasa Indonesia. Bahkan, pasal 15 menyebut bahwa label juga harus dibuat oleh pelaku usaha yang menurut lampiran Permendag tidak masuk dalam daftar diwajibkan.

Sanksi yang diatur dalam Permendag terbaru pun bisa dikatakan lebih ringan. Sebab, jika pelaku usaha tidak mencantumkan label, atau mencantumkan informasi yang tidak lengkap bahkan menyesatkan konsumen, ancaman sanksinya hanya bersifat administratif.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, produsen, importir, atau pedagang pengumpul yang melakukan pelanggaran bisa terkenda pencabutan perijinan di bidang perdagangan atau izin usaha lain. Sebelumnya, penentuan sanksi atas tindakan itu merujuk pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelanggaran mengenai pencantuman label bisa dikenakan sanksi pidana. Menurut Pasal 62, pelaku usaha atau pengurus perusahaan yang melanggar, bisa dijerat hukuman penjara paling lama lima tahun. Selain itu, ada pula ancaman pidana denda hingga Rp2 miliar.

Tags:

Berita Terkait