Ini Alasan Mengapa Perjanjian Internasional Perlu Diperkuat
Berita

Ini Alasan Mengapa Perjanjian Internasional Perlu Diperkuat

Indonesia tak bisa berharap banyak dengan perbaikan dari situasi regional.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ini Alasan Mengapa Perjanjian Internasional Perlu Diperkuat
Hukumonline
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani, meyakini bahwa penguatan perjanjian internasional bisa memiliki peran signifikan untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Ia mengeluhkan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia cukup terpuruk. Harga bahan pokok hampir tak terkendali, menyusul nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus merosot.

Oleh karena itu, menurut Haryadi, salah satu kunci untuk menormalkan situasi ekonomi makro saat ini adalah dengan menguatkan perjanjian multilateral maupun bilateral. Ia menjelaskan, hal ini terkait erat dengan langkah untuk mendorong kegiatan ekspor. Termasuk pula, menurutnya, berkaitan dengan pengendalian impor.

"Kita utamakan kepada penguatan fundamental perjanjian multilateral dan bilateral terutama dalam kaitan bagaimana mengendalikan impor lalu bagaimana mendorong upaya ekspor terutama," katanya di Jakarta, Selasa (18/8).

Lebih lanjut ia mengatakan, Indonesia tak bisa berharap banyak dengan perbaikan dari situasi regional. Pasalnya, kondisi makro kini cukup dipengaruhi kondisi regional yang cukup memburuk. Ia menyebut, ekonomi Jepang sedang mengalami kontraksi yang signifikan. Selain itu, insiden bom di Thailand dan hiruk pikuk politik Malaysia ikut menambah keruh suasana ekonomi kawasan.

"Ini kan di regionalnya sendiri aja ada banyak masalah. Penguatan di dalam negeri yang bisa kita lakukan," tandasnya.

Selain penguatan perjanjian internasional terkait dengan ekspor-impor, ia mengatakan bahwa suku bunga acuan (BI rate) juga memiliki peran penting dalam perbaikan kondisi ekonomi. Hanya saja, ia mengaku pesimis jika posisi BI rate bisa diturunkan ke posisi yang lebih rendah. Ia memahami dilema BI untuk menurunkan BI rate. Sebab, hal iu rentan disalahartikan oleh pasar.

Menurut Haryadi, BI rate saat ini memang cukup tinggi. Dirinya mengaku, pelaku usaha sesungguhnya berharap agarBI rate bisa turun. Karena nilai yang tinggi sulit mendorong sektor usaha. Seperti yang diketahui, BI telah menetapkan BI rate di angka 7,50 persen per periode Februari hingga Juli.

Meskipun begitu, ia menyampaikan bahwa pihaknya mengerti bahwa BI harus berhati-hati. Hal ini disebabkan dalam situasi konservatif saja situasi di pasar tidak bisa diprediksi apalagi dalam kondisi yang tidak menentu seperti sekarang.

"Kita berharap diturunkan karena itu kan tinggi tapi kita juga menyadari kalau itu turun nanti sinyalnya ditangkap pasar akan beda,” tuturnya.

Ia khawatir, jika nanti BI rate turun, maka nilai tukar rupiah semakin tak karuan. Ia hanya mengatakan, yang terpenting BI rate tak naik lagi. Menurutnya, angka 7,5 persen sebagaimana yang belaku saat ini harus tetap dipertahankan.

"Bi rate saya kira tetap ya rasanya, pokoknya pertahankan jangan naik lah dari 7,5 persen. Memang kalau turun nanti rupiah akan semakin tidak karuan,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati mengatakan, suku bunga acuan tidak mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan perubahannya harus dilatarbelakangi situasi yang konkret. Yati menyebut, untuk mengkaji perubahan BI rate, harus melihat ekspektasi tingkat inflasi dan nilai tukar Rupiah.

“BI Rate masih di level 7,5 persen. Untuk memutuskan berubah atau tidak, harus melihat ekspektasi tingkat inflasi dan nilai tukar Rupiah. BI akan melihat dan mempelajari data yang akurat sebelum mengambil kebijakan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait