Ini 7 Parameter 'Kegentingan Memaksa' Terbitnya Perppu Cipta Kerja
Utama

Ini 7 Parameter 'Kegentingan Memaksa' Terbitnya Perppu Cipta Kerja

Salah satunya, untuk melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap UU No.11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Kalangan masyarakat sipil dan akademisi menilai terbitnya Perppu Cipta Kerja ini tidak memiliki alasan konstitusional.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah berdalih ada kondisi kegentingan memaksa, sehingga perlu menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Sementara kalangan serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menilai tidak ada alasan kegentingan yang memaksa bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu tersebut.

Mengacu konsideran menimbang dalam Perppu No.2 Tahun 2022 setidaknya ada 7 parameter yang digunakan sebagai landasan adanya kegentingan yang mendesak. Hal itu tercantum dalam poin a-g konsideran menimbang Perppu.  

Pertama, untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja.

Baca Juga:

Kedua, dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional.

Ketiga, untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja.

Keempat, pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja, sehingga perlu dilakukan perubahan.

Kelima, upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja.

“Sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus,” demikian bunyi sebagian kutipan poin e konsideran menimbang Perppu Cipta Kerja ini.

Keenam, untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.

Ketujuh, dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate changel, dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.

Poin e konsideran menimbang Perppu menjelaskan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a-g telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagaimana diatur pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945.

Tidak memiliki alasan konstitusional

Akademisi Fakultas hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memiliki alasan konstitusional untuk diterbitkan. Maksud putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan untuk membenahi UU Cipta Kerja dalam waktu paling lama 2 tahun tidak ditujukan untuk menerbitkan Perppu. “Perppu ini melanggar putusan MK,” kata Feri Amsari saat dikonfirmasi, Senin (2/1/2022).

Feri mengingatkan melalui Putusan MK No.138/PUU-VII/2009, MK telah memberi 3 pedoman pembentukan Perppu. Pertama, UU yang dibutuhkan untuk cepat menyelesaikan masalah hukum belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum. Kedua, ada UU tapi tidak menyelesaikan masalah. Kekosongan hukum yang terjadi tidak bisa diatasi dengan membuat UU sesuai prosedur biasa. “Kriteria pembentukan Perppu itu tidak terpenuhi, sehingga Perppu No.2 Tahun 2022 ini menentang putusan MK,” tegasnya.

Alasan kegentingan mendesak sebagaimana disebut dalam konsideran menimbang Perppu No.2 Tahun 2022, menurut Feri hanya alasan yang dibuat-buat pemerintah. Jika mengacu Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 dalih pemerintah untuk menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 itu tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa. Apalagi jumlah pasalnya sampai ribuan, jika memang sifatnya kegentingan yang mendesak seharusnya pasal yang tercantum relatif sedikit.

“Ini menunjukkan Perppu No.2 Tahun 2022 direncanakan sangat matang untuk menghidupkan kembali UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat,” tegasnya.

Terpisah, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal), juga mengecam terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022. Kepal menilai tidak ada kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur Pasal 22 UUD NKRI Tahun 1945 dan putusan MK No.138/PUU-VII/2009 untuk menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022.

Koordinator Tim Kuasa Hukum KEPAL, Janses E Sihaloho menilai terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 melengkapi bermacam pelanggaran yang dilakukan terhadap putusan MK terkait uji formil UU No.11 Tahun 2020 yang memerintahkan dilakukan penangguhan tindakan dan kebijakan strategis serta pembentukan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020. “Terbitnya Perppu Cipta Kerja, maka perbaikan UU Cipta Kerja sesuai dengan putusan MK juga dilanggar,” ujarnya.

Penasihat Senior IHCS, Gunawan, mengatakan ada ketidakjelasan rumusan Perppu. Dia heran apa yang ingin diganti oleh Perppu itu karena salah satunya mengacu pada putusan MK terkait uji formil UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan objek gugatan yakni UU Cipta Kerja dipandang sudah tidak ada.

Gunawan berpendapat Perppu tersebut juga tidak memenuhi standar dan indikator pelaksanaan putusan MK untuk membenahi UU Cipta Kerja. Misalnya, naskah akademik perbaikan UU Cipta Kerja, perbaikan materi sebagaimana yang menjadi keberatan masyarakat, dan partisipasi rakyat secara bermakna dalam setiap tahap pembentukan perbaikan.

“Perbaikan UU Cipta Kerja tidak hanya perbaikan typo dan materi ketenagakerjaan, tetapi juga materi terkait hak petani dan nelayan, serta masalah agraria, pertanian, pangan, perikanan, dan pendidikan yang justru didiskriminasikan oleh UU Cipta Kerja secara formil maupun materiil,” imbuh Gunawan.

Direktur LBH Jakarta Citra Referandum menilai mengatakan lembaganya mengecam terbitnya Perppu itu karena tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.

LBH Jakarta sedikitnya memiliki 3 catatan atas Perppu yang terbit 30 Desember 2022 itu. Pertama, Perppu diterbitkan tidak dalam kegentingan yang memaksa. Mengutip pendapat Prof Bagir Manan, Citra menyebut ada beberapa kriteria “kegentingan yang memaksa” sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD NKRI Tahun 1945. Antara lain ada krisis dimana disebut krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance).

Ciri lainnya yakni kemendesakan yang dapat terjadi bila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dulu. “Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship). Penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden,” kata Citra Referandum dikonfirmasi, Senin (2/1/2023).

Alasan pemerintah menerbitkan Perppu karena dampak perang Rusia-Ukraina menurut Citra jauh dari keadaan bahaya baik secara kedekatan teritorial dan ekonomi-politik. Sarat akan kepentingan pengusaha dan proses pembentukan UU masih dapat dilaksanakan secara biasa atau normal sebagaimana yang ditentukan Pasal 22 UUD NKRI Tahun 1945 dan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009.

Citra menekankan perlu adanya penjelasan secara ilmiah (scientific) dengan menggunakan berbagai medium pemerintah secara partisipatif yang meluas menyentuh setiap lapisan masyarakat bila ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa. Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif Presiden RI dan Kabinet Pemerintahannya saja.

Untuk itu, LBH Jakarta mendesak untuk dilakukan 4 hal. Pertama, Presiden RI segera mencabut Perppu No.2 Tahun 2022. Kedua, DPR RI tidak menyetujui Perppu No.2 Tahun 2022. Ketiga, Presiden dan DPR harus menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Keempat, Presiden dan DPR perlu menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai prinsip-prinsip konstitusi negara hukum yang demokratis dan HAM.

Tags:

Berita Terkait