Ini 4 Poin Utama Praperadilan Habib Rizieq Shihab
Berita

Ini 4 Poin Utama Praperadilan Habib Rizieq Shihab

Mulai dari adanya pasal penghasutan, pemeriksaan saksi, alat bukti hingga status tersangka.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Tim penasihat hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) meminta majelis hakim praperadilan membatalkan status tersangka dan melepaskan HRS dari tahanan. Foto: RES
Tim penasihat hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) meminta majelis hakim praperadilan membatalkan status tersangka dan melepaskan HRS dari tahanan. Foto: RES

Habib Rizieq Shihab (HRS) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkaitan dengan statusnya sebagai tersangka dan penahanan akibat adanya kerumuman pada saat maulid Nabi Muhammad SAW dan juga pernikahan putrinya. Melalui tim penasihat hukumnya, Habib Rizieq meminta majelis hakim untuk membatalkan status tersangka dan melepaskannya dari tahanan.

Setidaknya ada empat poin utama permohonan ini. Pertama, timbulnya Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang menurut tim penasihat hukum yang menamakan dirinya Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab, pasal tersebut tidak ada dalam proses penyelidikan. Tim menganggap adanya pasal ini mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum.

Selain itu, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil di mana seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak adanya pihak yang terhasut dan berujung pada terjadinya tindak pidana lain sebagai akibat, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki. (Baca: Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan)

“Bahwa pengenaan Pasal 160 KUHP sebagai delik materiil terhadap pemohon haruslah pula disandarkan pada bukti atau alat bukti materiil, yang menyatakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang sudah diputus oleh pengadilan dan telah berkuatan tetap, sebagai akibat yang dihasilkan oleh adanya suatu hasutan,” ujar tim dalam memori permohonan yang diperoleh Hukumonline.

Masih berkaitan dengan pasal, tim yang beranggotakan Aziz Yanuar, Wisnu Rakadita, Kamil Pasha, Sumadi Atmadja, Hujjatul Baihaqi dan Dwi Heriadi ini juga menganggap Pasal 93 jo Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menurut tim juga salah jika disangkakan kepada kliennya, karena selain tidak ada penetapan karantina wilayah, juga tidak ada penetapan kedaruratan kesehatan.

Dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan oleh perbuatan Pemohon, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan. Ia pun merujuk pernyataan sejumlah ahli hukum yang dilansir dari sejumlah media online yang menyatakan pelanggaran karantina kesehatan tidak dapat dipidana.

Pemanggilan saksi

Kedua, berkaitan dengan pemanggilan saksi yang disebut tim tidak sah menurut hukum. Contohnya Bahwa surat panggilan saksi kesatu terhadap kliennya disampaikan pada 29 November 2020 atau hanya 2 hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan yakni pada 01 Desember 2020, padahal sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 227 ayat (1) KUHAP, panggilan kepada saksi harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut yakni disampaikan selambat-lambatnya 3 hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan.

Pasal 227 ayat (1) KUHAP “Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi, atau ahli disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.”

Selain itu petugas yang melaksanakan panggilan tersebut tidak bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan Habib Rizieq sebagai pihak yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 227 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa panggilan kesatu tersebut harus dianggap tidak sah, atau dengan kata lain tidak pernah ada,

Selanjutnya surat panggilan kesatu terhadap saksi Habib Idrus bin Ali Al Habsi dengan no surat : S.Pgl/8930/XII/2020/Ditreskrimum tertanggal 4 Desember 2020, saksi Habib Ali bin Abu Bakar Alatas dengan nomor surat : S.Pgl/8906/XII/2020/Ditreskrimum tertanggal 4 Desember 2020, dan saksi Habib Idrus Al Gadrie : S.Pgl/8931/XII/2020/Ditreskrimum tertanggal 4 Desember 2020 tidak pernah disampaikan langsung kepada yang bersangkutan, dan juga dikirim ke alamat yang salah, yakni ke Petamburan III No. 83 RT. 02/04, Kel. Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang bukan tempat tinggal / kediaman dari saksi-saksi tersebut.

Sedangkan surat panggilan kesatu atas Habib Alwi bin Alwi Alatas, dan K.H. Syahib Joban, yang terkirim ke alamat Petamburan III No. 83 RT. 02/04, Kel. Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang merupakan sekretariat DPP FPI, tidak diketahui ditujukan kepada siapa, karena tidak mengenal nama-nama tersebut.

Dua alat bukti

Poin ketiga, tidak mencukupinya minimal dua alat bukti yang cukup dalam penetapan tersangka. Menurut tim saksi-saksi yang telah dimintakan keterangan sama sekali tidak memiliki kualitas terhadap suatu peristiwa yang sebenarnya terjadi. Dan oleh karena itu keberadaan saksi a quo tidak memiliki kompetensi dan relevansi guna kepentingan penyidikan.

“Fakta yang terjadi tidak ada Saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terhadap perbuatan yang disangkakan kepada Pemohon,” tuturnya.

Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri.

Keterangan saksi yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Penetapan tersangka

Dan poin terakhir, berkaitan dengan penetapan status tersangka. Tim berpendapat dalam ratio decidenci Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurangkurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

Selain itu juga harus disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Dengan demikian, tidak dapat ditafsirkan lain bahwa terhadap Pemohon harus dilakukan pemeriksaan sebagai calon Tersangka.

“Fakta yang terjadi bahwa Pemohon belum pernah dimintakan keterangan sebagai calon tersangka. Adapun pemanggilan pertama, tanggal 29 November 2020 kedua tanggal 02 Desember 2020 dimaksudkan dalam rangka keterangan saksi,” jelas tim.

Maka dengan tidak ditempuhnya prosedur sebagaimana ketentuan dalam KUHAP mengenai penyelidikan, penyidikan, serta tata cara pemanggilan dan pemeriksaan saksi, serta tidak konsekuennya pencantuman pasal-pasal antara tahap penyelidikan maupun tahap penyidikan, salahnya pengenaan pasal-pasal terhadap pemohon yang tidak pula didukung oleh bukti-bukti materiil, maka sudah seharusnya penetapan tersangka tidak sah.

Selain itu status tersebut juga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dan oleh karenanya pemohon harus dibebaskan dari segala akibat hukum penetapan tersangka, termasuk namun tidak terbatas pada penghentian perkara (SP3), mengeluarkan pemohon dari tahanan atau segala bentuk penahanan. 

Tags:

Berita Terkait