Ingin Punya Firma Hukum Sendiri? Ini Tipsnya!
Utama

Ingin Punya Firma Hukum Sendiri? Ini Tipsnya!

Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam mendirikan firma hukum adalah pemilihan nama firma. Apakah nama yang digunakan nantinya dapat menjual kualitas layanan firma atau sebaliknya. Selanjutnya yang tak kalah penting soal pemilihan partner.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Di era 60-an hingga 90-an mungkin tak banyak ditemukan firma hukum, khususnya corporate law firm, lain halnya dengan era 2000-an. Kemunculan berbagai firma hukum baru yang kian menjamur menunjukkan betapa sengitnya kompetisi antar firma hukum dewasa ini. Sehingga jika tak kuat bersaing dan tidak disertai dengan management keuangan serta management client yang baik, maka bersiaplah untuk ‘gulung tikar’.

 

Menariknya, tak sedikit firma hukum baru yang namanya justru melejit lantaran berhasil mengelola kantor hukumnya dengan baik dan professional. Berbekal pengalaman selama bekerja di law firm besar ditambah dengan reputasi yang dikenal baik oleh klien telah menuntun banyak lawyer muda yang sukses mendirikan firma hukumnya sendiri. Lantas bagaimana tips dan triknya?

 

Partner pada Firma Hukum Dewi Negara Fachri & Partners, Chalid Louis Heyder, menyebut hal terpenting yang harus diperhatikan dalam mendirikan firma hukum adalah pemilihan ‘nama firma’. Apakah nama yang digunakan nantinya dapat menjual kualitas layanan firma atau sebaliknya. Selanjutnya yang tak kalah penting, katanya, soal pemilihan partner.

 

Dalam pemilihan partner ini, sambung Chalid, harus diperhatikan betul apakah sang partner yang akan diajak bekerjasama memiliki expertise/spesialisasi keahlian tertentu seperti yang kita harapkan? apakah profesionalisme profesi yang dimilikinya bisa dipertanggungjawabkan?

 

“Jadi tak hanya yang bisa memasukan modal banyak tapi tak mau kerja, atau asal ajak teman saja ternyata dia tak punya spesialisasi seperti yang diharapkan,” kata Chalid dalam seminar yang diadakan oleh Young Lawyers Committee dengan tema “How to Become a Professional Lawyer” di Jakarta, Jumat (12/10).

 

Selanjutnya, kata Chalid, perlu dipikirkan juga firma yang akan didirikan ini akan menyasar target kliendi bidang apa, sehingga dari situ bisa dipetakan spesialisasi apa saja yang akan diseriusi dalam firma hukum tersebut ke depannya. Setelah firma berdiri, tak bisa ditampik bahwa managing partner berperan sebagai ujung tombak dalam mencari klien.

 

“Jadi dalam konteks ini marketing yang sesuai dengan kode etik advokat jelas dibutuhkan. Marketing itu bisa dilakukan melalui seminar-seminar, misalnya,” kata Chalid.

 

Setelah firma memperoleh klien, sambung Chalid, hal yang harus konsisten dijalankan adalah profesionalisme sebagai seorang lawyer mulai dari kinerja seperti kecepatan lawyer merespons email dari klien, report kepada klien soal perkembangan perkara yang ditangani. Jika itu klien asing maka jangan mudah mengatakan paham sampai betul-betul paham. Cara berpakaian juga menggambarkan profesionalisme seorang lawyer.

 

(Baca Juga: Seluk Beluk Membuka Kantor Hukum di Singapura)

 

Tak jauh berbeda dengan Chalid, Managing Director of EasyHelps, Catherine L Ary mengatakan, teman yang dapat ber-partner dalam jangka panjang memiliki visi dan misi yang sama dan sesuai dengan tujuan firma hukum yang dibangun adalah kunci atas keberhasilan suatu firma hukum.

 

Selanjutnya dalam pemilihan nama firma, Catherine menyebut tak mesti menggunakan nama founder, mengingat kemungkinan jika suatu saat founder mengundurkan diri perlu dipikirkan betul karena itu akan berpengaruh besar terhadap klien.

 

Jadi sejak awal hendak mendirikan firma itu maka kemungkinan-kemungkinan tersebut harus sudah dipikirkan dengan matang,” kata Catherine.

 

Adapun hal penting yang sering dilupakan lawyer, kata Catherine, adalah soal management kantor advokat, seperti penghitungan modal, investasi, rencana keuangan dan pelaporan keuangan. Penting sekali untuk dibicarakan berapa persen dari income yang didapatkan akan dimasukan dalam kas kantor, untuk keuntungan partner dan berapa persen diberikan kepada lawyer laindan tim handling (staff yang dipekerjakan).

 

“Disiplin management keuangan itu sangat penting. Sebagai pelajaran banyak firma hukum baru yang cepat tutup karena tak disiplin soal ini,” kata Catherine.

 

Biasanya, sambungnya, law firm yang tak disiplin soal keuangan akan dengan mudahnya mencampuradukkan kekayaan kantor dengan kekayaan pribadi partner, baik itu partner dengan mudahnya mengambil ‘uang’ dari kantor atau partner yang terus menerus memodali kantor yang tak kunjung mendapat ‘untung’.

 

(Baca Juga: Sejarah Kantor Advokat Indonesia)

 

Sementara, kata Catherine, tak bisa ditampik bahwa selain untuk keperluan operasional, fee tim handling dan uang saku partner, sebuah law firm terlebih yang masih tergolong baru jelas sangat membutuhkan yang dinamakan ‘budget untuk marketing’.

 

Untuk mengantisipasi masalah keuangan itu, kata Catherine, rencana keuangan yang meliputi target-target pendapatan harus jelas sejak awal. “Harus ditetapkan berapa income fix yang harus didapatkan firma setiap bulannya dan bagaimana caranya mencapai target itu,” kata Catherine.

Tips lainnya, Catherine menganjurkan agar firma menghemat biaya operasional dengan menghentikan kebiasaan ‘hobi fotocopy dokumen’. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan cukup dengan mempelajari dokumen melalui teknologi yang ada seperti gadjet, PC, laptop dan sebagainya.

 

Adapun soal penentuan tarif jasa advokat, katanya, tak perlu menetapkan harga tarif yang tinggi jika memang firma hukum tersebut baru berdiri. Pasalnya, untuk merintis di awal itu yang perlu dicari bukanlah income sebesar-besarnya melainkan kepercayaan klien.

 

Seringkali law firm baru yang ditemukan Catherine justru menetapkan tarif sangat tinggi, padahal kualitasnya belum tentu teruji. Malah, katanya, jika klien merasa biaya yang dikeluarkan begitu besar, namun hasil yang didapatkan tak sebanding dengan harga yang dikeluarkan maka kecil kemungkinan klien akan memilih kembali firma hukum tersebut bila ke depan membutuhkan jasa advokat.

 

“Intinya, bangun trust dulu, jangan lihat value-nya dulu. Kalau trust sudah terbangun nanti value itu akan mengikut dengan sendirinya,” kata Catherine.

 

Selain itu, Catherine menyebut hal-hal berbau administratif juga perlu dipahami oleh para lawyer, seperti penyimpanan dokumen yang rapih (document management), pembuatan timesheet sebagai bentuk report pribadi, selalu mengirimkan laporan perkembangan perkara kepada klien via email.

 

Jadi tidak hanya mengirim invoice dan sebagainya,” ujar Catherine. Terakhir, harus ada pembagian tugas yang jelas dan proporsional.

 

Partner punya tanggungjawab besar untuk service excellent, pembagian tugas antara lawyer dan staff sebagai tim handling. Kalau tak ada pembagian tugas seperti ini partner bisa babak belur,” pungkasnya.

 

KOREKSI

 

Young Lawyers Committee dalam suratnya kepada Redaksi Hukumonline tertanggal 17 Oktober 2018 dan baru diterima pada tanggal 22 Oktober 2018, merasa dirugikan karena berita yang diserbarluaskan kepada publik tidak lengkap, khususnya dalam menyebutkan nama acara dan tempat penyelenggaraan acara.

 

Atas dasar itu, paragraf 5 berubah menjadi:

“Jadi tak hanya yang bisa memasukan modal banyak tapi tak mau kerja, atau asal ajak teman saja ternyata dia tak punya spesialisasi seperti yang diharapkan,” kata Chalid dalam seminar yang diadakan oleh Young Lawyers Committee dengan tema “How to Become a Professional Lawyer” di Jakarta, Jumat (12/10).

 

Dari sebelumnya berbunyi:

“Jadi tak hanya yang bisa memasukan modal banyak tapi tak mau kerja, atau asal ajak teman saja ternyata dia tak punya spesialisasi seperti yang diharapkan,” kata Chalid, Jumat (12/10), di Jakarta.

 

Terima kasih atas perhatiannya,

Redaksi Hukumonline

 

Tags:

Berita Terkait