Ingin Menggunakan e-Rekap, KPU Pelajari Pengalaman Negara Lain
Berita

Ingin Menggunakan e-Rekap, KPU Pelajari Pengalaman Negara Lain

Tetapi sifatnya hanya pelengkap. Bukan mengantikan hasil dari kertas (pengitungan manual).

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ketua Arief Budiman KPU (kanan) dalam FGD e-Rekap bersama narasumber lain. Foto: DAN
Ketua Arief Budiman KPU (kanan) dalam FGD e-Rekap bersama narasumber lain. Foto: DAN

Komisi Pemilihan Umum berencana untuk menerapkan sistem rekapitulasi elekteronik sebagai dasar metode penetapan hasil pemilihan umum. Rencana tersebut akan diujicoba sebelum pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) pada 2020 mendatang. Untuk mematangkan rencana tersebut, KPU terus melakukan persiapan termasuk di dalamnya dengan mendengar pengalaman sejumlah pihak dari luar negeri yang telah lebih dahulu menerapkan teknologi dalam Pemilu mereka.

Harus diakui, penerapan teknologi untuk penghitungan atau pemungutan suara menjadi kebutuhan untuk mempercepat dan mengefektifkan pekerjaan penyelenggara pemilu. Bukan berarti penyelenggara pemilu di Indonesia mengabaikan. Pada Pemilu serentak April lalu, KPU sudah menerapkan metode Sistem Informasi Penghitungan (Situng) sebagai salah satu metode bantu penghitungan manual berjenjang. Dalam sejumlah kesempatan, KPU menyebutkan Situng sebagai instrumen transparansi KPU dalam proses rekapitulasi hasil Pemilu.

Pakar kepemiluan dari International Intitute for Democracy and Electoral Asisstence (IDEA) Peter Wolf menyebutkan, trend capaian penggunaan alat bantu teknologi dalam melakukan rekapitulasi dari Tempat Pemungutan Suara (polling station) mencapai angka 24 persen. Alat bantu teknologi yang digunakan dalam rekapitulasi tersebut seperti mesin voting; input data dengan menggunakan computer, tablet, ponsel; dan kebanyakan menggunakan telpon, fax, serta sms.

Peter mengatakan, alasan menggunakan alat bantu teknologi dalam pemungutan maupun penghitungan suara karena hasil yang diperoleh akan lebih cepat serta tingkat akurasinya lebih presisi. Namun, mayoritas negara di dunia menjadikan alat bantu teknologi ini sebatas pelengkap. Bukan mekanisme utama yang akan menentukan hasil. “Ini sifatnya hanya pelengkap, bukan mengantikan hasil dari kertas (pengitungan manual),” ujar Peter saat menjadi narasumber dalam focus group discussion yang diselenggarakan KPU di Jakarta, Rabu (2/10).

Pemilu Pakistan 2017, contohnya. Dijelaskan Peter, penggunaan teknologi sebagai alat bantu Pemilu di Pakistan identik dengan yang terjadi di Indonesia. Pada saat itu, hasil penghitungan suara difoto kemudian dikirimkan ke tempat rekapitulasi di jenjang yang lebih tinggi. Saat itu, masih ditemukan sejumlah tantangan dalam penggunaan teknologi. “Mereka biasanya menggunakan personal phone. Kelebihannya lebih mudah, tapi kekurangannya adalah karena ini personal phone sehingga masih ada isu-isu terkait (transparansi, kerpercayaan, dan lain-lain),” ujarnya.

Lebih lanjut Peter menjelaskan, sejarah Pakistan menggunakan tekonologi sebagai alat bantu penghitungan dimulai pada tahun 2015. Setelah tumbuh kesadaran tentang kebutuhan terhadap teknologi sebagai alat bantu, kemudian dilakukan uji coba selama dua tahun. Setelah itu diputuskan digunakan pada Pemilu 2017. Menurut Peter, salah satu yang menarik, Pakistan merupakan negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia.

Berdasarkan hasil pengamatan IDEA, tantangan penggunaan teknologi dalam Pemilu di Pakistan adalah mengenai hal-hal seperti konektivitas, software, hardware, serta sumber daya manusia yang belum seimbang antara yang diberikan pelatihan dengan orang yang mengimplementasikan metode ini di lapangan.

Selain Pakistan, Peter menceritakan pengalaman Kenya dalam menggunakan teknologi untuk menghitung hasil pemungutan suara. Di Kenya, pada tahun 2013, publik Kenya menggunakan handphone. Baru pada 2017 Kenya menggunakan tablet sebagai alat bantu. “Penggunaan tablet tidak hanya pada saat memilih tapi juga registrasi dan identifikasi pemilih,” terang Peter.

Ia mengisahkan latar belakang pengunaan teknologi di Kenya. Bermula dari krisis pasa Pemilu di tahun 2008 yang mana ratusan orang meninggal dunia akibat krisis tersebut sehingga di tahun 2009 muncul rekomendasi penggunaan teknolgi sebagai alat bantu. Meski begitu, Peter menyebutkan masih terdapat hambatan dalam penggunaan teknologi ini. Pada Pemlu 2013, ternyata masih banyak hambatan yang dihadapai seperti kegagalan teknologi. Di tahun 2017 pelaksanaannya pun masih banyak kendala yang di hadapi. “Walaupun di 2016 mereka telah merancang teknologi yang akan digunakan tapi di 2017 masih juga banyak kendala. Sehingga persoalan di 2013 masih juga berulang,” ujarnya.

Tantangan yang dihadapi oleh Kenya saat itu misalnya timleine yang sangat padat, hambatan dari segi SDM, ujicoba yang tidak cukup, koneksi yang tidak memadai, ada aturan yang bertentangan, ketidak jelasan penggunaan metode manual atau elektronik, serta banyaknya disinformasi atau hoax.

Lain di Kenya, lain juga di Belanda. Jauh lebih dulu, Belanda menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam Pemilu.  Di Belanda, tahun 1998 pertama kali menggunakan elektronik voting. Kemudian pada tahun 2007, terdapat protes dari sejumlah aktivis yang mempersoalkan aspek keamanan sistem sehingga pada tahun 2008 Belanda kembali menggunakan sistem lama tanpa bantuan teknologi.  “Mereka menggunakan semuanya paper (manual). Teknologi menjadi suport dari kerja mereka”.

Begitu juga pada Pemilu di Amerika Serikat pada 2017. Persoalan yang kurang lebih sama terkait keamanan sistem mencuat di Maerika Serikat. Untuk itu aktivis di US menyebutkan bahwa teknologi yang digunakan tidaklah terlalu aman. Karena itu mereka lebih sepakat jika teknologi hanya menjadi bagian dari support. “Walaupun sudah berlangsung 10 tahun mereka masih ragu menggunakan e voting,” ungkap Peter.

(Baca juga: Dorong e-Rekap Jadi Mekanisme Resmi Penentuan Hasil Pilkada, KPU Siapkan Sejumlah Hal).

Untuk itu, sebelum sampai pada tahap implementasi, Peter menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap teknologi yang digunakan. Keamanan sistem harus bisa dijamin serta tingkat pemahaman sistem yang mesti dimiliki oleh publik menjadi salah satu kunci. Untuk itu, menurut Peter, jika Indonesia hendak menggunakan metode ini, ada yang perlu dilakukan. “Lakukan dengan catatan, menguji terlebih dahulu, pelajari, verifikasi, memastikan keamanannya, dan dikomunikasikan ke publik,” urai Peter.

Ketua KPU Arief Budiman menyebutkan, selama 5 kali Pemilu di Indonesia, telah menjadikan teknologi sebagai alat bantu. Pada Pemilu 2019 bahkan KPU sudah menyempurnakan penggunaan teknologi yang digunakan. Data yang berhasil dihimpun dari hasil Situng misalnya sebanya 99,5 persen. Sementara untuk pemilu legislatif sebanyak 98,3 persen. “Trend ini menunjukkan pemilu kita makin siap didukung menggunakan teknologi informasi terutama situng,” ujar Arief.

Ia menyebutkan, penggunaan teknologi informasi oleh KPU selain untuk hasil Pemilu, tapi juga menggunakan untuk SIDALIH, tahapan pencalonan, sistem informasi parpol, logistik, dan dana kampanye. Secara keseluruhan, yang paling banyak diakses publik adalah SITUNG dan SIDALIH.

(Baca juga: Polemik Situng, Ahli Pemohon Versus Ahli Termohon).

Menurut Arief, semakin baik tren yang ditunjukkan menandakan kesiapan Indonesia menngunakan teknologi. Untuk itu di Pilkada 2020 KPU berencana menerapkan SITUNG sebagai basis penetapan hasil. Menurut Arief, Pilkada 2020 akan menjadi masa transisi penggunaan elektronik untuk hasil pemilu. Banyak juga pihak yang mendorong KPU untuk menggunakan e-voting meski ia merasa bahwa e-voting belum bisa digunakan dalam waktu dekat karena sejumlah faktor.

“Kami mempersiapkan dengan serius. Mudah-mudahan bisa ketemu polanya dalam Pilkada 2020. Saya harap, 2020 kita sudah melakukan simulasi di beberapa kabupaten kota atau propinsi yang melakukan Pilkada. 2019 seluruh perangkat selesai, Januari Februari kita simulasi terus menerus sebelum kita putuskan akan digunakan atau tidak,” ungkap Arief.

Tags:

Berita Terkait