Ingin Gunakan Dalil Force Majeure, Pahami Dulu Persyaratannya
Utama

Ingin Gunakan Dalil Force Majeure, Pahami Dulu Persyaratannya

Bersandar pada Pasal 1245 KUHPerdata saja tidaklah cukup. Harus dapat membuktikan ada halangan yang betul-betul mengakibatkan prestasinya tak bisa dilakukan. Pernah diputus saat krismon 1998.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi force majeur dalam era pandemi Covid-19. Ilustrator: HGW
Ilustrasi force majeur dalam era pandemi Covid-19. Ilustrator: HGW

Seiring berlakunya status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah, dampak ekonomi menjadi implikasi nyata yang harus dihadapi banyak perusahaan. Berbagai diskusi yang mengkaji soal keabsahan implementasi force majeure, pemutusan hubungan kerja, termasuk penafsiran apakah Covid-19 memenuhi prasyarat terjadinya suatu keadaan yang memaksa semakin banyak dibahas.

 

Seperti diketahui, dasar hukum force majeure yakni Pasal 1245 KUHPerdata (BW) mengatur bahwa penggantian biaya kerugian dan bunga dapat dimaafkan bilamana terjadi suatu keadaan yang memaksa. Banyak pakar dan praktisi yang berpandangan bahwa Pasal 1245 KUHPerdata dapat dijadikan landasan hukum penerapan force majeure bahkan sekalipun klausa ini belum diatur dalam kontrak yang disepakati.

 

Namun bukan berarti Pasal 1245 KUHPerdata saja cukup, pihak yang berperkara harus bisa membuktikan adanya halangan yang betul-betul mengakibatkan prestasinya tak bisa dilakukan. Ketua Bidang Studi Hukum Perdata FHUI, Akhmad Budi Cahyono berpendapat bahwa Covid-19 tidak bisa serta merta mengakibatkan berlakunya force majeure, kecuali memang keadaannya betul-betul tidak mungkin dilaksanakan, seperti terjadinya penutupan perusahaan misalnya.

 

“Dalam force majeure, prestasinya harus terhalang dan tidak bisa dilaksanakan, karena konsep force majeure sendiri adalah all or nothing,” ujarnya dalam webinar yang dilaksanakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) bertajuk ‘Dapatkah Force Majeure dan Asas Rebus Sic Stantibus Diterapkan dalam Bencana Covid-19?’, Rabu, (22/4).

 

Artinya, ia menambahkan, selama suatu prestasi masih mungkin dilaksanakan, kendati sangat sulit dan memberatkan maka tidak bisa dikatakan force majeure. Untuk kondisi ini, doktrin hardship atau rebus sic stantibus (keadaan sulit/perubahan keadaan) seharusnnya bisa diterapkan. Masalahnya, hukum Indonesia tidak mengenal adanya hardship atau rebus sic stantibus, KUHPerdata hanya mengenal istilah force majeure.

 

(Baca juga: Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?)

 

Sebagai jalan keluar, Akhmad Budi Cahyono menganjurkan para pihak menggunakan asas iktikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata) untuk melakukan renegosiasi kontrak, baik dalam bentuk rescheduling, restructuring ataupun reconditioning. Hasil renegosiasi yang telah disepakati dapat dicantumkan melalui addendum kontrak.

 

Akhmad berpandangan, jika force majeure diterapkan secara serampangan dalam kondisi perusahaan sebetulnya masih dapat melakukan prestasi, maka yang terjadi hanyalah perubahan penanggungan risiko (switch risiko) saja. Misalnya, jika awalnya kerugian akibat terhambatnya pelaksanaan prestasi itu ditanggung oleh debitur, namun karena debitur mengajukan force majeure akhirnya terbebas dari beban penanggungan kerugian itu. Sebagai gantinya, otomatis krediturlah yang harus menanggung kerugian itu. Artinya, Akhmad berpandangan tidak terefleksi prinsip keadilan (win-win solution) dalam hal ini. Seharusnya, kerugian dalam kondisi jatuhnya ekonomi dalam masa pandemi ini bisa ditanggung secara bersama-sama antara kreditur dan debitur. Itulah alasan mengapa renegosiasi berdasarkan prinsip iktikad baik menjadi pilihan terbaik.

 

Sedikit berbeda dengan Akhmad, Partner firma hukum IABF, Ivan Baely berpandangan klasifikasi pandemi Covid-19 sebagai force majeure tetap bisa dilakukan karena dianggapnya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Bahkan bilamana kontrak yang ditandatangani para pihak belum mengatur klausula force majeure, pihak tersebut tetap bisa bersandar pada dasar hukum pasal 1245 KUHPerdata. Untuk bisa dikabulkan di pengadilan, alasan force majeur yang diajukan harus disertakan dengan bukti yang memadai, seperti apa saja akibat riil yang dialami debitur dalam keadaan kahar itu.

 

“Menurut saya sudah terpenuhi Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Semua orang juga sudah melihat Covid ini bisa tersebar. Bahkan negara lain yang telah melakukan segala Tindakan yang lebih bagus dan teliti dari negara kita tetap kena. Engga ada yang bisa menghindar. Hanya saja ini tetap harus dibuktikan, engga bisa kita langsung hanya datang ke pihak bank, dan klaim kita force majeure,” jelasnya.

 

Di situasi seperti inilah dibutuhkan iktikad baik semua pihak untuk melakukan segala upaya yang menghasilkan win-win solution. Kebenaran adanya iktikad baik itulah yang nantinya akan diadili di pengadilan, karena memang ada jenis debitur yang betul-betul tidak bisa bayar dalam kondisi kahar ini, tapi juga ada debitur yang sebetulnya bisa bayar namun tidak mau membayar.

 

Penting digarisbawahi, Ivan menambahkan, sifat dari force majeure tidaklah menghilangkan kewajiban debitur, melainkan hanya menghilangkan kewajiban pembayaran bunga dan kerugian. Lantas bisakah force majeure membatalkan perjanjian? Ia berpandangan konsekuensi pembatalan perjanjian akibat terjadinya force majeur hanya bisa berlaku jika para pihak telah mencantumkan klausula pembatalan kontrak akibat force majeure dalam perjanjian yang telah mereka sepakati. Bila tidak diatur pembatalan dalam kontrak, maka yang berlaku adalah penundaan kewajiban.

 

Yurisprudensi

Krisis ekonomi dimasa pandemi ini, disebutnya tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan krisis moneter 1998. Bila ditelusuri, umumnya yurisprudensi pengadilan ketika itu tidak mengabulkan pembelaan debitur yang mendalilkan bahwa krisis moneter dapat diklasifikasikan sebagai keadaan kahar atau force majeure. Satu-satunya putusan yang dikabulkan Pengadilan terkait pembelaan force majeure, sejauh penelusuran Akhmad Budi Cahyono ditemukannya pada Kasus Pertamina vs PT Wahana Seno Utama terkait kontrak pembangunan, pengoperasioan dan pengelolaan Gedung Menara Gas di tahun 2003.

 

(Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata)

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, ratio decidendi majelis hakim atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 237/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst itu berporos pada fakta terhambatnya pembangunan khususnya proyek pembangunan Gedung Menara Gas Pertamina kala itu. Kolapsnya bank-bank dan para penyandang dana juga menjadi bukti bahwa tergugat betul-betul tidak mampu menyelesaikan pembangunan Gedung itu.

 

Perkara tersebut akhirnya menjadi salah satu yurisprudensi perdata di Indonesia dengan putusan akhir di tingkat kasasi (Putusan No. 1787 K/Pdt/2005) yang menolak permohonan Kasasi PT Pertamina (Persero) dengan salah satu pertimbangan yakni judex facti tidak salah dan tidak keliru dalam menerapkan hukum dan seluruh alat bukti telah diperiksa dan dipertimbangkan dengan cukup baik.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.


Tags:

Berita Terkait