Nebis in Idem Tak Berlaku dalam Kasus Trisakti dan Semanggi
Berita

Nebis in Idem Tak Berlaku dalam Kasus Trisakti dan Semanggi

Keluarga korban tragedi Trisakti dan Semanggi hanya bisa gigit jari. Upaya mereka memperjuangkan proses hukum atas kasus itu justru gagal di tangan aparat hukum sendiri. Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat dinilai setali mata uang.

Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Nebis in Idem</i> Tak Berlaku dalam Kasus Trisakti dan Semanggi
Hukumonline

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam sikap Kejaksaan Agung yang menolak menyidik kasus Trisakti dan Semanggi. Penolakan itu dinilai sebagai ancaman serius bagi penegakan hak asasi manusia. 

 

Pandangan Kontras itu dikeluarkan menanggapi pernyataan Kepala Satgas HAM Kejaksaan Agung BR Pangaribuan. Pada 11 Maret lalu, Pangaribuan menyatakan bahwa Kejagung telah mengambil sikap final, yaitu tidak dapat menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM dalam kasus Trisakti dan Semanggi. Alasannya, DPR sudah memutuskan bahwa tidak ditemukan pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut.

 

Kejagung merasa terhalang oleh dalil hukum bahwa satu kasus tidak dapat diadili dua kali (nebis in idem) mengingat perkara penembakan mahasiswa Trisakti telah diputus mahkamah militer pada 1999 lalu.

 

Peradilan militer yang telah dilangsungkan merupakan peradilan pidana yang sama sekali tidak menyentuh para penanggung jawab komando, sebagaimana lazim diterapkan dalam kasus kejahatan kemanusiaan.

 

Asas nebis in idem jelas dapat diabaikan mengingat subjek dan pasal yang dituduhkan adalah berbeda. Peradilan militer bersifat ordinary crime, sementara kasus pelanggaran berat adalah extra-ordinary crime. Hal itu juga diatur dalam pasal 20 Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan peradilan HAM.

 

Kesimpulan DPR

Namun, Kontras menganggap argumen Kejagung itu lebih sebagai upaya justifikasi untuk tidak melaksanakan fungsinya. "Rekomendasi DPR tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum," ujar Koordinator Kontras, Ori Rahman.

 

Dikatakan Ori, DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan terbentuknya pengadilan HAM berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan. DPR sebagai lembaga politik tidak berhak untuk menilai tidak adanya peristiwa pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti dan Semanggi. "Kejaksaan Agung telah mencampuradukkan persoalan formalitas dan substansi hukum antara pidana militer dan pelanggaran HAM berat," ujarnya.

 

Lebih lanjut dikatakan bahwa dalih nebis in idem tidak dapat diberlakukan dalam perkara pelanggaran HAM berat. Dalam perkara pelanggaran HAM berat, ketentuan mengenai atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara yang dikenal dalam pengadilan militer dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk menguatkan dalilnya, Kontras merujuk pada pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

 

Benarkah DPR tidak berhak melakukan penyidikan projustisia kasus pelanggaran HAM berat? Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000 tegas menyatakan penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung. Tetapi, kewenangan itu tidak bersifat mutlak. Sebab, ayat 3 pasal tersebut membuka peluang pihak lain sebagai penyidik ad hoc, yaitu unsur Pemerintah dan masyarakat.

 

Agar dapat menjadi penyidik ad hoc, kedua elemen di atas harus diangkat oleh Jaksa Agung. Dengan demikian ada dua persoalan menyangkut kesimpulan DPR. Pertama, apakah DPR termasuk kategori--unsur Pemerintah atau masyarakat--yang disebut dalam pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000. Kalaupun dibenarkan, pertanyaan kedua, apakah tim DPR pernah diangkat oleh Jaksa Agung? Dan itulah kerancuan-kerancuan yang muncul dalam penegakan HAM di Indonesia.

 

Tidak aneh kalau Human Rights Watch Asia menganggap penegakan hak asasi manusia di Indonesia penuh ketidakpastian. Bayangkan berapa daya, waktu dan dana yang sudah dihabiskan; berapa lembaga yang sudah terlibat untuk menyelidiki kasus dugaan penembakan mahasiswa baik dalam tragedi Trisakti maupun Semanggi I dan II.

 

Tags: