“Sebagaimana dapat dilihat dalam UUTelekomunikasi, konsep awalnya adalah deregulasi dan liberalisasipada tahun-tahun sebelumnya, itulah sebabnya tampak kolaborasi antara negara dan kapital atau pasar besar. Negara atau pemerintah memberikan kebebasan pada pasar dan pemodal asing,” ujar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Yogyakarta, Amir Effendi Siregar, Selasa (9/6), di Jakarta.
Imbasnya, media di Indonesia dikuasai oleh segelintir pemodal besar dan sedikit pemain lokal. Ini jelas mempengaruhi dari sisi ekonomi nasional dan juga content media. Kesenjangan antara pusat dan daerah, kota dan desa sangat terasa. Padahal jika dibandingkan di Amerika Serikat yang penduduknya berjumlah sekitar 300 juta jiwa, berlangsung sistem stasiun jaringan dan stasiun lokal.
Terdapat sekitar 1.750 stasiun televisi lokal, 380 diantaranya adalah non komersial. Ada yang milik jaringan atau grup atau kelompok, ada yang berafiliasi pada kelompok dan ada yang independen,” tambah Amir.
Dengan banyaknya stasiun televisi lokal jelas meniscayakan content lokal menjadi pilihan. Namun, Amir mengungkapkan bahwa industritelekomunikasi Indonesiasangat memprihatinkan. Bukan hanya soal pusat dan daerah, tetapi ketimpangan juga terjadi antara infrastruktur dan content,” kata peneliti PR2Media lainnya, Rahayu.
Pemerintah, kata Rahayu, harus membangun infrastruktur lebih dulu agar industritelekomunikasi menjadi kuat. Padahal tidak bisa demikian, content dan infrastruktur harus berbarengan. “Bayangkan dengan infrastruktur yang canggih, tetapi anak-anak muda kita hanya bisa download film-film porno. Justru di content inilah kita bisa berdaulat, tatkala di bidang teknologi kita masih menjadi konsumen atau pasar. Karena itu Rahayu menegaskan, Di contentlah masa depan kita,”ujar Rahayu.
Karena itulah, menurut Rahayu, menjadi penting perubahan UU Telekomunikasi, termasuk tidak kalah pentingnya adalah aktor-aktor yang terlibat. “DI UU Telekomunikasi yang ada sayangnya, sedikit menyebut Negara, tapi sisanya bicara bisnis, bisnis, dan bisnis,” terangnya.
Padahal, sambungnya, ada bagian masyarakat, yaitu komunitas. Menurut Rahayu, di dalam dunia telekomunikasi, peran komunitas sangat penting. Ia membawa keragaman dan kekayataan content yang luar biasa, termasuk menggerakkan ekonomi daerah. Ironisnya, ini tidak menjadi perhatian.
“Misalnya,saat bertanya pada Kominfo, adakah pengaturan mengenai televise komunitas, mereka menjawab, belum ada. Lalu di mana peran masyarakat,” katanya.
Dari problem-problem ini sesungguhnya yang lebih disayangkan ternyata pemerintah tidak memiliki roadmap telekomunikasi, yang menjadi dasar bagi pemetaan dunia telekomunikasi. Kalau toh ada itu sudah kadaluarsa. Bagaimana telekomunikasi kita akan tertata, jika roadmap yang menjadi dasar tidak dimiliki. Akan kacau dunia telekomunikasi sampai kapanpun.
Karena itu, lajut Rahayu, dari riset yang dilaksanakan di lima kota yaitu Jakarta, Medan, Makassar, Bandung dan Yogyakarta, menyimpulkan Pertama, kebijakan dan regulasi telekomunikasi dan penyiaran harus saling terkait dan berhubungan serta berdasarkan sebuah landasan filosofis dan ideologis yang sama.
“Ini adalah bidang yang meskipun berbeda tapi merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Regulator telekomunikasi dan penyiaran harus saling terkait dan berhubungan erat. Bila perlu menjadi satu kesatuan,” ujarnya.
Kedua, dalam penyusunan kebijakan dan regulasi harus mengutamakan kepentingan nasional. Ketiga, roadmap dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan penyiaran harus segera dibuat dan dilakukan di Indonesia.