Industri Pertambangan untuk Parpol, Bukan Rakyat
Berita

Industri Pertambangan untuk Parpol, Bukan Rakyat

Parpol kerap mengeruk industri tambang.

ADY
Bacaan 2 Menit

Mengacu data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pemilu Presiden 2009, Chalid mencatat terdapat sejumlah pengusaha tambang yang memberi sumbangan kepada pasangan calon presiden. Indikasi digunakannya keuntungan dari bisnis pertambangan untuk kepentingan politik menurut Chalid semakin kuat dengan realita banyaknya pengurus Parpol yang punya perusahaan tambang.

Bahkan di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), warga beramai-ramai mendemo sebuah perusahaan tambang yang dimiliki oleh Parpol besar. Warga gusar, karena kegiataan yang dilakukan perusahaan itu mengganggu sumber penghidupan mereka.

Ironisnya, praktik serupa, menurut Chlid terjadi pula di sektor industri lain seperti perkebunan, kehutanan dan kelautan. Namun dari berbagai sektor industri itu, pertambangan yang paling kentara proses kegiatannya. Oleh karenanya, Chalid mengimbau kepada masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan tambang, untuk melaporkan dan memberi data terkait kepada koalisi.

Ketika data yang dihimpun sudah lengkap, koalisi akan melayangkannya ke KPU dan KPK agar ditindaklanjuti. Pasalnya, kegiatan pertambangan yang dilakukan diindikasikan bersinggungan dengan praktik korupsi dan kejahatan lain.

Sementara anggota koalisi dari KontraS, Haris Azhar, melihat kepentingan yang melekat di industri pertambangan bukan hanya elit politik lokal dan nasional, tapi juga pihak asing. Pasalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penyuplai bahan mentah ke luar negeri, termasuk hasil pertambangan.

Haris mencatat sepanjang 2009-2012 ada 10.667 izin pertambangan yang diterbitkan. Banyaknya izin itu, menimbulkan konflik antar Parpol. Misalnya, kekisruhan tumpang tindih izin pertambangan di Kutai Timur. Konflik antar dua parpol yang berkepentingan di daerah itu berujung pada digugatnya Pemda Kutai Timur dan Pemerintah Pusat ke arbitrase internasional di Amerika Serikat.

Kritik lembaga
Sayangnya, mekanisme hukum yang ada dan diharapkan mampu mengontrol dampak buruk itu dinilai tak mampu berfungsi maksimal. Misalnya, ketika mengadvokasi warga ke Komnas HAM. Haris mengatakan lembaga yang fokus menangani isu HAM itu hanya menerbitkan rekomendasi yang dirasa tak memberi dampak signifikan melindungi hak-hak warga yang terancam.

Halaman Selanjutnya:
Tags: