Indonesia Tidak Ramah terhadap Arbitrase Internasional
Utama

Indonesia Tidak Ramah terhadap Arbitrase Internasional

Revisi UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa perlu segera dilakukan.

M Vareno Tarnes
Bacaan 2 Menit
Seminar Internasional Commercial Arbitration di Universitas<br> Gajah Mada. Foto: Dok UGM
Seminar Internasional Commercial Arbitration di Universitas<br> Gajah Mada. Foto: Dok UGM

Indonesia dinilai tidak ramah terhadap putusan arbitrase internasional. Proses pengesahan hasil arbitrase di Indonesia masih sulit karena memakan waktu dan dapat dibatalkan pengadilan. Hakikat efisiensi dan efektifitas proses abitrase jadi terabaikan.

 

Demikian disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herliana, dalam Seminar International Commercial Arbitration di Jogjakarta, Senin (25/4). Herliana mengatakan, kebanyakan pihak luar negeri menganggap pengadilan Indonesia tidak konsisten dan cenderung memberikan perlakuan khusus untuk pihak Indonesia yang dikalahkan oleh putusan arbitrase internasional terhadap pihak asing.

 

Meski tidak spesifik, Herliana mengacu pada sengketa Pertamina vs Karaha Bodas. Menurutnya, pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu masalah besar. Sebab, putusan itu sebenarnya di luar yurisdiksi pengadilan Indonesia, sebagaimana kemudian diputuskan dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung.

 

Persoalan lain menurut Herliana terkait dengan aturan hukum arbitrase di Indonesia. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia diatur dalam UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

 

Masalahnya, ada perbedaan cukup besar antara UU No 30 Tahun 1999 dengan dasar hukum arbitrase internasional yang telah diratifikasi Indonesia, UN Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards and Agreements (The New York Convention/NYC).

 

“Padahal, undang-undang itu juga mengatur mengenai pengakuan dan pengukuhan putusan arbitrase internasional di Indonesia,” katanya saat menjadi pembicara dalam seminar di Universitas Gadjah Mada, Senin (25/4).

 

Salah satu yang disoroti Herliana adalah soal kebolehan menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Dalam UU No 30 Tahun 1999 hanya ada tiga syarat utama, yaitu hanya dalam perkara perdagangan, terkait dengan negara yang juga meratifikasi NYC, dan tidak melanggar ketertiban umum.

 

Sementara, dalam NYC diatur syarat yang lebih luas dari tiga hal itu. “Persoalannya, apakah jika ternyata ketiga alasan penolakan sesuai UU tidak terpenuhi, namun ada alasan yang terlanggar menurut NYC, dapat dijadikan dasar penolakan di PN Jakarta Pusat. Hal itu belum terjawab dalam undang-undang ini,” tandasnya.

 

Karena itu, Herliana menyampaikan bahwa pandangan sebagian besar pihak luar negeri menganggap Indonesia belum memiliki kepastian hukum terkait putusan arbitrase internasional.

 

Dalam acara yang sama, Guru Besar Hukum Intenasional Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana mengatakan, ada kecenderungan pihak yang bersengketa, meski salah satunya dari Indonesia, melakukan arbitrase di luar Indonesia. “Banyak yang lebih memilih proses arbitrase di Singapura,” katanya.

 

Hal ini disebabkan banyak pihak belum percaya dengan proses arbitrase di Indonesia. Persoalan di pengadilan Indonesia, menurut Hikmahanto, jadi sorotan utama. Ia mencontohkan, dalam hal terjadi deadlock penentuan arbiter, pengadilan harus turun tangan untuk memutuskan pemilihan arbiter tersebut.

 

“Hal seperti ini jika dilakukan pengadilan Indonesia belum dipercaya. Dianggap pengadilan Indonesia tidak efisien dan lama,” jelasnya.

 

Apalagi, kata Hikmahanto, kepastian hukum atas putusan arbitrase di Indonesia masih kontroversial, meski prosesnya dilakukan di luar negeri. “Ada penelitiannya di UI, kalau tidak salah perbandingannya, dari 29 permintaan penetapan ke PN Jakarta Pusat, yang dikabulkan hanya enam atau tujuh perkara. Lainnya ditolak,” ungkapnya.

 

Ditambahkan advokat Rahayu Ningsih Hoed, tidak ada jaminan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. “Pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase dapat melakukan perlawanan kembali di pengadilan Indonesia untuk membatalkan. Presedennya, semua bentuk perlawanan seperti ini selalu diakomodir oleh pengadilan Indonesia,” tukasnya.

 

Rahayu juga menggarisbawahi ketidaknyamanan arbiter asing untuk mendaftarkan putusan arbitrasenya ke PN Jakarta Pusat. Sebab, praktik di banyak negara, justru pihak yang menang yang mendaftarkan. “Hal ini berkaitan dengan permintaan eksekusi putusan arbitrase,” katanya.

 

Menanggapi hal ini, Hakim Agung Mieke Komar mengatakan pemahaman hakim mengenai putusan arbitrase internasional memang perlu ditingkatkan. Namun, menurutnya jauh lebih penting perbaikan aturan arbitrase di Indonesia. “Artinya, revisi UU No 30 Tahun 1999 perlu segera dilakukan,” pungkasnya.

Tags: