Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi
Aktual

Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi

Banyak pengungsi yang terabaikan hak asasinya di Rumah Detensi Imigrasi.

Ady
Bacaan 2 Menit
Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi
Hukumonline

Indonesia menjadi salah satu tempat favorit para pencari suaka ataupun pengungsi internasional sebagai tempat singgah. Ditjen Imigrasi misalnya mencatat pada periode Januari sampai Juli 2010 terdapat 3.434 imigran. Sejumlah 843 orang diantaranya adalah pengungsi dan sisanya adalah pencari suaka. Sebagian besar imigran berasal dari Afganistan.

Persoalan muncul ketika pemerintah tidak tanggap dalam menangani para pengungsi ataupun pencari suaka itu. Karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, maka pemerintah tak bisa langsung menetapkan status para imigran tersebut sebagai pencari suaka atau pengungsi. Penentuan status dilakukan oleh UNHCR (Komisi Tinggi PBB bidang Pengungsi) yang memakan waktu yang lama.

Kondisi ini diperparah dengan belum adanya instrumen nasional yang mengatur perihal serupa. Indonesia memang punya UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang mengamanatkan tentang pengungsi dan pencari suaka. Seharusnya ketentuan itu ditindaklanjuti pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Sayangnya sudah dua belas tahun berlalu, Keppres itu tak kunjung muncul.

Akibatnya, ketika ada sekelompok orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia mereka dikategorikan sebagai imigran gelap yang melakukan pelanggaran administrasi imigrasi sebagaimana UU No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Akhirnya kelompok orang asing itu dikelompokan menjadi satu dan ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).

"Pemerintah Indonesia bukanlah pihak yang (ikut,--red) menandatangani dan meratifikasi Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967 tentang status pengungsi dan pencari suaka. Penentuan status dilakukan oleh UNHCR," tutur Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim kepada wartawan di kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat (10/2).

Menurut Ifdhal, penentuan status pengungsi atau pencari suaka terhadap para imigran menjadi penting untuk mencegah para pembonceng yang memiliki motif yang berbeda. Pembonceng itu biasanya terkait dengan kegiatan pidana seperti human trafficking, terkait kejahatan perang dan lain sebagainya.

Di sisi lain, Komnas HAM menilai lamanya masa tunggu bagi para pengungsi dan pencari suaka atas kejelasan statusnya berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Pasalnya lamanya proses kejelasan status itu dapat menimbulkan tekanan psikologis bagi para pengungsi dan pencari suaka. Hal itu terjadi ketika mereka ditempatkan di Rudenim yang fasilitasnya tergolong tidak layak. Contohnya daya tampung Rudenim yang melebihi batas.

Ifdhal menambahkan, pada dasarnya para pengungsi dan pencari suaka itu adalah orang yang mengalami pelanggaran HAM di daerah asal. Setibanya di Indonesia mereka ditempatkan di ruang yang melebihi kapasitas. Hal itu akan mengakumulasi tingkat stress para pengungsi dan pencari suaka. Akibatnya banyak dari mereka yang mencoba kabur dari Rudenim dan ada yang mencoba bunuh diri.

"Rudenim Kalideres berkapasitas 80 orang diisi 120 orang. November 2011 sebanyak 13 pencari suaka kabur dari Rudenim Tanjungpinang, seorang dari mereka gagal menembus kawat berduri dan tewas. Pencari suaka asal Srilanka mencoba bunuh diri dengan memotong urat nadi tangannya namun cepat dicegah petugas," ujar Ifdhal.

Pengungsi dan pencari suaka ini adalah masalah internasional. Tapi karena Indonesia menjadi tempat singgah maka masalah itu menjadi persoalan dalam negeri. Untuk mengatasinya Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Menurut Komnas HAM setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh Indonesia jika meratifikasi. Pertama, pemerintah dapat menentukan sendiri status para pengungsi dan pencari suaka. Sehingga pemerintah dapat terlibat langsung dan berkontribusi dalam penanganan masalah ini sesuai kepentingan nasional. Dapat dipastikan juga bahwa pencarian suaka tidak dijadikan selubung bagi pelarian orang yang terlibat tindak pidana dan kejahatan menurut hukum internasional.

Kedua, pemerintah dapat mendapat bantuan dan kerjasama internasional terkait penguatan kapasitas nasional dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka. Sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komprehensif. Selain itu beban penanganan pengungsi dan pencari suaka tidak ditanggung seluruhnya oleh pemerintah. Tapi juga ditopang oleh solidaritas dan kerjasama dengan komunitas internasional.

Dalam kesempatan yang sama Komisioner Komnas HAM yang lain, Ridha Saleh menyebutkan Komnas HAM sedang menangani dua kasus terkait pengungsi dan pencari suaka. Pertama, adalah pengungsi asal Burma yang ditampung di Aceh. Kedua, pengungsi asal Sri Lanka yang mencari suaka di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah membuka akses bagi siapa saja yang mau memberi bantuan. Menurut Ridha hal itu dilakukan pemerintah karena tidak bisa menentukan status para imigran itu.

Ridha menilai hal itu yang membuat Indonesia tidak mampu untuk bergerak leluasa menyelesaikan permasalahan pengungsi dan pencari suaka. Selain itu posisi tawar Indonesia akan lemah sehingga mudah diintervensi oleh pihak luar. Dalam perkara pengungsi asal Sri Lanka Ridha menyebut Indonesia ditekan negara lain agar menutup akses bagi pengungsi atau pencari suaka yang akan lewat.

“Ini membuat pemerintah pusing, pemerintah Sri Lanka minta dikembalikan karena mereka adalah 'Elan Tamil' tapi tidak semua (pengungsi itu, -red). Di sisi lain pemerintah Indonesia ditekan pemerintah Australia agar jangan membuka akses dulu. Itu problema politik yang dialami pemerintah Indonesia kalau dia tidak meratifikasi (konvensi tentang pengungsi, -red),” kata dia.

Tags: