Indonesia Gugat Uni Eropa Soal Diskriminasi Kelapa Sawit di WTO
Berita

Indonesia Gugat Uni Eropa Soal Diskriminasi Kelapa Sawit di WTO

RED II dan Delegated Regulation mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

(Baca: Jokowi Klaim Siapkan Lawyer Top Hadapi Gugatan Eropa Soal Larangan Ekspor Nikel)

 

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo menambahkan, inisiasi awal dalam gugatan ataupun proses konsultasi ke WTO merupakan langkah yang dapat diambil setiap negara anggota. Gugatan dilakukan jika menganggap kebijakan yang diambil negara anggota lain melanggar prinsip-prinsip yang disepakati dalam WTO.  Diharapkan melalui konsultasi ini dapat ditemukan jalan keluar terbaik bagi kedua pihak.

 

"Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE ini di berbagai forum bilateral, baik dalam Working Group on Trade and Investment Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO. Namun, kita harus tetap mempertegas keberatan Indonesia terhadap kebijakan UE tersebut,” ujar Dirjen Iman.

 

Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir. Nilai ekspor FAME mencapai USD 882 juta pada periode Januari–September 2019, atau menurun 5,58 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018 sebesar USD 934 juta.

 

Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96 persen dari USD 3,27 miliar pada periode Januari–September 2018 menjadi USD3,04 miliar year-on-year. "Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit," pungkas Mendag Agus.

 

Perlu diketahui, aturan RED II diundangkan pada 2018 dan memiliki beberapa potensi negatif bagi industri sawit di Indonesia. Kemudian pada Maret 2019, Komisi UE mengeluarkan Regulasi Komisi UE yang mengaitkan biofuel dengan perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC). 

 

Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa ILUC terjadi jika dalam proses produksi biofuel menyebabkan areal pangan berkurang (terkonversi ke tanaman biofuel), memicu terjadinya konversi hutan atau lahan sehingga menyebabkan peningkatan emisi. Beberapa aturan RED II tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2021.

 

Seluruh anggota diharapkan sudah menerapkan RED II dalam tingkat aturan domestik masing-masing negara pada Juni 2021. Adapun pada 2030, seluruh target EU-RED II diharapkan dapat tercapai, yaitu tidak ada lagi bahan bakar hayati yang berasal dari bahan baku yang berpotensin menyebabkan risiko tinggi terhadap perubahan iklim dan ketersediaan pangan. Sondang juga menyampaikan dalam kasus ini terdapat dua diskriminasi yang perlu dikaji Pemerintah Indonesia.

Tags:

Berita Terkait