Indonesia Dinilai Belum Layak Bangun Smelter
Berita

Indonesia Dinilai Belum Layak Bangun Smelter

Pembangunan smelter di Indonesia masih terkendala oleh kondisi sosial dan ekonomi di daerah.

FNH
Bacaan 2 Menit
Indonesia Dinilai Belum Layak Bangun Smelter
Hukumonline

Rencana hilirisasi mineral di Indonesia yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) serta Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 masih menjadi topik hangat di kalangan pengusaha tambang dan para pakar energi. Sebagian pihak menilai pemberlakuan Permen ESDM ini merupakan jalan yang benar, namun sebagian menentang disahkannya Permen ini.


Vice President dan Direktur PT Smelting Gresik (PTS),Prihadi Santoso,mengatakan saat ini Indonesia belum layak untuk melaksanakan pembangunan smelter. Pasalnya, pemerintah harus melihat pasar dan permintaan atas semua jenis mineral,baik di dalam maupun luar negeri. Belum lagi persoalan teknis seperti tersedianya pasokan listrik dan pembebasan lahan menjadisalah satu hal yang menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan smelter di Indonesia.


Ia mencontohkan pembangunan pabrik peleburan dan pemurnian tembaga. Pembangunan ini dikatakan tidak layak di Indonesia mengingat pasar konsentrat tembaga Internasional sangat sulit untuk pabrik peleburan tembaga. Bahkan, kapasitas peleburan yang terpasang melebihi daripada pasokan konsentrat tembaga dari hulu. Selain itu, permintaan katoda tembaga di dalam negeri lebih sedikit dari kapasitas produksi PTS.


“Saat ini bukan sesuatu hal yang baik untuk membangun industri peleburan,” kata Prihadi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (17/7).


Berdasarkan pengalaman selama menjalani kegiatan peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia, Prihadi menilai akan lebih tepat bila pemerintah mendukung upaya pengembangan industri hilir di Indonesia. Caranya, dengan ekstensifikasi eksplorasi sumber daya mineral.


Sekadar informasi, PTS merupakan pabrik peleburan dan pemurnian baru di Indonesia untuk mengolah dan memurnikan konsentrat tembaga dari pertambangan Indonesia. PTS merupakan satu-satunya pabrik smelter yang ada di Indonesia dan sudah berdiri selama 12 tahun.


Sementara itu, Direktur Pengembangan PT Antam (Persero) Tbk, Tato Miraza, membenarkan hal tersebut. Menurutnya, persoalan pembangunan smelter di Indonesia masih terkendala oleh kondisi sosial ekonomi di daerahseperti persoalan pembebasan lahan, tuntutan masyarakat terhadap CSR serta tuntutan pemerintah lokal yang berlebihan.


“Selain itu infrastruktur yang kurang memadai di daerah mengakibatkan kendala transportasi juga,” katanya di tempat yang sama.


Tantangan lainnya dalam penerapan hilirisasi mineral adalah minimnya inovasi dan teknologi di dalam negeri. Peranan teknologi, kata Tato, merupakan hal yang penting dalam operasi produksi di dunia pertambangan. Selain untuk menurunkan biaya produksi, teknologi dapat meningkatkan nilai atas cadangan mineral yang dimiliki perusahaan.


Selain itu, besaran anggaran untuk teknologi pertambangan dan teknologi yang berjalan lambat menjadi salah satu kendala dalam inovasi bidang pertambangan. Seharusnya, lanjut Tato, pemerintah dapat memberi ruang di dalam APBN untuk memajukan teknologi pertambangan di Indonesia.


Tato menambahkan, demi suksesnya keinginan pemerintah untuk melakukan hilirisasi mineral guna mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan sehingga efek positif dari pembangunan dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat maka hilirisasi pertambangan perlu didukung oleh CSR yang terkelola dengan baik. Perizinan satu atap dan kerja sama pengembangan teknologi pertambangan dengan lembaga riset pemerintah sangat dibutuhkan.


“Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan ketentuan mengenai tax holiday dan royalty yang tidak memberatkan,” pungkasnya.

Tags: