Indonesia Berpotensi Ciptakan Lapangan Kerja Baru
Berita

Indonesia Berpotensi Ciptakan Lapangan Kerja Baru

Dari 12 negara yang diteliti, Indonesia menempati peringkat kedua untuk negara yang mampu menciptakan lowongan kerja terbanyak untuk investasi sebesar AS$ 1 Juta.

Ady
Bacaan 2 Menit
Indonesia berpotensi untuk ciptakan lapangan kerja baru. Foto: ilustrasi (Sgp)
Indonesia berpotensi untuk ciptakan lapangan kerja baru. Foto: ilustrasi (Sgp)

Konfederasi Serikat Pekerja Internasional, International Trade Union Confederation(ITUC) mencatat jumlah pengangguran di dunia terus meningkat seiring krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa beberapa tahun terakhir.

Di tengah isu perubahan iklim, seluruh negara dituntut menerapkan teknologi ramah lingkungan. Atas dasar itu ITUC menawarkan solusi berupa menumbuhkan pekerjaan yang hijau dan layak.

Pekerjaan hijau, menurut ITUC mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan sektor industri secara berkelanjutan serta menyediakan pekerjaan dan kehidupan yang layak untuk semua yang berkaitan dengan proses produksi. Sekaligus menjamin hak-hak pekerja terpenuhi.

Menurut ITUC tidak ada pilihan lain untuk mengatasi tantangan di abad 21 itu selain bertransisi menuju perekonomian yang lebih hijau (green economy). Yaitu setiap kebijakan berlandaskan pada kebutuhan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.

Sekjen ITUC, Sharan Burrow, mengatakan di tahun 2050, dunia membutuhkan 50 persen lebih banyak bahan pangan, lima persen energi dan 30 persen air ketimbang saat ini. Untuk mencapai target itu, menurut Sharan akan menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu dibutuhkan investasi untuk mencapai target tersebut.

Penelitian Millennium Institute memperkirakan jika terdapat investasi sebesar dua persen dari jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) pada suatu negara untuk ekonomi hijau setiap satu tahun, maka dalam lima tahun ke depan akan tercipta lebih dari 48 juta pekerjaan hijau baru. Penelitian itu dilakukan terhadap 12 negara, salah satunya Indonesia.

Sharan menyebutkan, peran pemerintah adalah mengkondisikan agar investasi itu dapat masuk dengan menerbitkan sejumlah regulasi. Ini penting agar pembangunan industri hijau itu tidak makin membebankan anggaran negara.

Dari penelitian hasil penelitian yang telah dilakukan, Sharan mengatakan potensi menciptakan lapangan pekerjaan baru dari investasi hijau sangat besar. Dari 12 negara yang diteliti, Indonesia memiliki potensi yang tinggi. Setidaknya terdapat empat sektor industri di Indonesia yang berpeluang besar menciptakan pekerjaan hijau, yaitu sektor energi, konstruksi, transportasi dan kehutanan. Sharan menekankan dalam menciptakan pekerjaan itu, harus berlandaskan pada penyelamatan lingkungan.

Sharan melanjutkan, pekerjaan itu bukan hanya diciptakan untuk generasi sekarang, tapi untuk generasi selanjutnya. Oleh karenanya Sharan mengatakan proses itu harus berkelanjutan.

Dari 12 negara yang diteliti, Sharon mengatakan potensi untuk menciptakan lapangan kerja, Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi. Penelitian itu berdasarkan potensi lapangan kerja yang dapat dihasilkan dari investasi sebesar satu juta dollar AS.

“Melihat persoalan transportasi di Jakarta, untuk investasi sebesar AS$ 1 Juta dapat dihasilkan 656 pekerjaan,” kata Sharan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/5).

Sharan yakin hal itu dapat diwujudkan pemerintah Indonesia. Pasalnya, Indonesia menjadi anggota dari organisasi negara kaya di dunia yaitu G-20. Ia pun mengingatkan akan ada dua perhelatan besar internasional yang rencananya dihadiri oleh petinggi-petinggi negara. Yaitu pertemuan negara anggota G-20 dan lingkungan hidup. Indonesia termasuk negara yang akan hadir dalam pertemuan tersebut.

Untuk mendorong terciptanya lapangan kerja hijau dan layak, Sharan menyebutkan sejumlah pemimpin serikat pekerja internasional akan menemui para petinggi negara dalam perhelatan tersebut. Oleh karena itu Sharan menantang Presiden SBY untuk duduk bersama pimpinan serikat pekerja, membahas perluasan penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia.

Selain itu, pada pertemuan G-20 yang rencananya diselenggarakan pada awal Juni besok, Sharan berupaya menemui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Tentu saja membahas hal serupa sebagaimana rencana Sharan bertemu dengan SBY.

Sebagai salah satu bentuk persiapan sebelum bertemu petinggi RI nanti, Sharan telah melakukan pertemuan dengan berbagai serikat pekerja di Indonesia, terutama yang berafiliasi dengan ITUC. Dari hasil pertemuan itu, Sharan menemukan beberapa persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi kaum pekerja di Indonesia antara lain kebebasan berserikat dan outsourcing.

Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka mengatakan rakyat Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal itu menurutnya termaktub dalam konstitusi.

Sayangnya, pemenuhan hak itu menurut Rieke ditafsirkan pemerintah dengan cara lain yaitu mengirim rakyat ke luar negeri untuk bekerja atau menjadi buruh migran. Menurut Rieke hak itu semestinya dipenuhi di dalam negeri, sehingga rakyat Indonesia tidak perlu mencari pekerjaan layak di luar negeri.

“Pekerja/buruh migran kita bekerja di wilayah 3D; Dirty, Danger, Difficult,” kata Rieke menjelaskan perlindungan pekerja migran terancam karena minimnya pembekalan yang seharusnya dilakukan pemerintah bagi calon TKI.

Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan kehadiran Sharan ke Indonesia untuk mengingatkan bahwa posisi Indonesia sangat penting di kancah internasional. Terutama ketika Indonesia menjadi anggota G-20 yang merupakan kumpulan negara-negara kaya di dunia.

Mengingat pentingnya posisi Indonesia, maka Iqbal mengatakan hak-hak pekerja harus menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah. Pasalnya, PDB Indonesia yang menduduki peringkat ke-17 dari seluruh negara di dunia. Selain itu Indonesia cukup berprestasi dalam pertumbuhan ekonomi di tengah krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan Eropa.

“Kalau kita bedah PDB, sektor pertanian (agraria) hanya menyumbang 47,6 persen, berarti ada 52,4 persen sumbangan dari sektor manufaktur. Jika bicara manufaktur berarti kaum pekerja,” kata Iqbal. Atas dasar itu ia mengatakan sudah selayaknya pemerintah memberi kontribusi terhadap kaum pekerja, misalnya memberi upah layak dan menghapus outsourcing yang eksploitatif.

Tags: