Indonesia Belum Maksimal Lindungi Warganya dari Penyiksaan
Berita

Indonesia Belum Maksimal Lindungi Warganya dari Penyiksaan

Pengakuan Indonesia terhadap Konvensi Anti Penyiksaan sempat memberi harapan besar bagi warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan yang lebih dari tindak penyiksaan. Tapi dalam pelaksanaannya, masih jauh dari yang diharapkan.

Zae
Bacaan 2 Menit
Indonesia Belum Maksimal Lindungi Warganya dari Penyiksaan
Hukumonline

Indonesia memang sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia sejak 1999 lalu. Peristiwa itu sempat menjadi suatu titik cerah dalam gelap gulitanya persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Koordinator Jaringan Anti Penyiksaan, Rini E. Pratsnawati, mengatakan hal tersebut dalam konferensi persnya yang digelar di Jakarta, (22/6). "Namun sayangnya, titik cerah tersebut tidak menjadi cahaya yang membesar dan menerangi gelapnya kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Indonesia," tegasnya.

Pada 2001 lalu, berdasarkan laporan resmi dari pemerintah Indonesia, Komisi Anti Penyiksaan PBB (Committee Against Torture of United Nations) menilai bahwa masih banyak kewajiban yang belum dilaksanakan oleh pemerintah RI dalam  menjalankan Konvensi Anti Penyiksaan serta melindungi warga negaranya dari tindak penyiksaan.

Dalam sidangnya yang ke-27, menurut Rini, Komisi Anti Penyiksaan PBB memberikan 17 rekomendasi bagi pemerintah Indonesia. Salah satu rekomendasinya adalah mengamandemen Konstitusi dan legislasi nasional, dan termasuk di dalamnya mengadopsi definisi "penyiksaan" pada Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan ke dalam undang-undang, khususnya KUHP.

Dalam bidang penegakan hukum, rekomendasinya meliputi penyidikan dan penyelidikan atas pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan yang terjadi di masa lalu, untuk kemudian diajukan ke meja pengadilan tanpa pandang bulu. Termasuk terhadap pejabat-pejabat tlnggi yang bertanggung jawab.

Selanjutnya adalah mereformasi institusi, yaitu memperkuat dan meningkatkan kapasitas dan efektifitas Komnas HAM. Lalu melanjutkan reformasi di tubuh Kepolisian sehingga dapat menjadi Polisi Sipil yang profesional, serta membuat panduan (juklak/juknis) bagi aparat penegak hukum untuk menghindari tindak penyiksaan pada saat menjalankan tugas penegakan hukum.

Kampanye anti penyiksaan

Tiga tahun sudah berlalu sudah berlalu sejak ratifikasi konvensi tersebut. "Tapi berdasarkan pemantauan dan penilaian kami bersama, wujud nyata dari upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi warga negaranya dari tindak penyiksaan masih jauh dari harapan," jelas Rini.

Hal itu pulalah, menurut Rini, yang menjadi dasar pemikiran untuk mengadakan kampanye bersama dengan tajuk "Indonesia Tanpa Penyiksaan". Pelaksanaan kampanye ini sekaligus menyambut hari anti penyiksaan sedunia yang jatuh pada setiap 26 Juni.

Dijelaskannya, kampanye bersama ini dimulai sejak 21 Juni sampai dengan 2 Juli 2004. Format kampanyenya antara lain dengan melaksanakan diskusi di beberapa tempat dengan tema anti penyiksaan.

Salah satu bentuk format kampanye adalah pelaksanaan parade balon yang akan digelar pada 25 Juni 2004. Parade tersebut akan mengambil tempat di bunderan Hotel Indonesia pada pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. "Kami minta perhatian media untuk menyebarluaskan informasi ini kepada masyarakat," ujar Sina, aktivis Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang merupakan bagian dari jaringan anti penyiksaan.

Sina menjelaskan, pelaksanaan parade balon tersebut kemudian dilanjutkan ke Polda Metro Jaya sebagai bentuk keprihatinan pada perlindungan aparat yang masih minim terhadap warganya. Selanjutnya akan diikuti dengan pelaksanaan kunjungan dan audiensi ke beberapa Polsek dan Polres di Jakarta pada 30 Juni 2004.

Pemerintah harus konsisten

Dalam kesempatan itu, Rini juga menjelaskan bahwa apabila berpatokan pada rekomendasi Komisi Anti Penyiksaan PBB di atas, bisa disimpulkan bahwa situasi penyiksaan yang terjadi di Indonesia masih belum beranjak jauh dari keadaan tiga tahun yang lalu. Contohnya adalah yang terjadi di Aceh, Papua, Bulukumba, Makasar, Ambon dan lain-lain.

Pada daerah-daerah tersebut, menurut Rini, ditunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang secara sengaja dilakukan oleh, atas hasutan, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik, sehingga menimbuikan rasa sakit dan penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani masih jamak dilakukan oleh aparat negara.

Berdasarkan hal tersebut, jaringan anti penyiksaan menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar secara konsisten menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Anti Penyiksaan PBB. Terutama yang menyangkut penyidikan dan penuntasan kasus HAM di masa lalu.

Kepada Komnas HAM juga diserukan untuk melakukan pemantauan dan membuka layanan pengaduan bagi korban penyiksaan pada umumnya. Termasuk juga menjamin perlindungan HAM bagi tersangka dan/atau pelaku tindak kriminal.

Selanjutnya, kepada TNI diserukan untuk menghentikan segala aksi represif dan tindak penyiksaan, terutama di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Papua dan lain-lain. Sedangkan kepada Kepolisian diserukan untuk segera menghapus pendekatan represif dan membangun citra sebagai polisi sipil yang profesional.

Tags: