Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Meningkat
Berita

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Meningkat

Aksi pemberantasan korupsi cukup efektif dengan dilaksanakannya whistleblower system.

KAR
Bacaan 2 Menit
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Meningkat
Hukumonline

Indonesia menempati posisi pertama di antara negara-negara Asia Tenggara dalam peningkatan indeks persepsi korupsi. Peningkatan ini bahkan terhitung dalam posisi lima besar di dunia. Indeks persepsi korupsi Indonesia meningkat tajam selama sepuluh tahun hingga hampir dua kali lipat. Pada tahun 2002, posisi Indonesia berada di angka 1,8 dan meningkat menjadi 3,2 pada tahun ini.

“Memang berita-berita yang ada kesannya kita sangat terpuruk dalam kubangan korupsi. Namun data ini sedikit memberi pencerahan,” ujar Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK, Sujarnako, di Jakarta, Kamis (7/11).

Sujarnako memaparkan, kesuksesan meningkatkan indeks dengan cukup siginifikan itu telah membuat Indonesia menjadi perhatian dunia. Pada tahun 2010, Indonesia ditantang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk direview dalam melaksanakan Konvensi PBB Anti Korupsi.

Menurut Sujarnako, Indonesia menyanggupi tantangan itu dan membuat national report implementasi UNCAC untuk PBB. PBB menunjuk Inggris dan Uzbekistan untuk mereview Indonesia. Dari hasil review muncul tiga puluh dua rekomendasi yang kemudian menjadi bahan keluarnya instruksi presiden untuk pemberantasan korupsi.

“Setelah kesuksesan itu, Kamboja dan Brunei Darussalam datang untuk meminta bantuan membuat review. Kini, Timor Leste dalam taraf diskusi,” tambahnya.

Review PBB berjalan selama sepuluh tahun. Dalam tahap pertama yang berjalan hingga tahun 2015, review terhadap Indonesia mencakup dua bab UNCAC. Bab yang dilihat hanya mengenai penegakan hukum yang diatur dalam Bab 3 tentang kriminalisasi dan Bab 4 mengenai kerja sama internasional.

“Rekomendasi memang paling banyak mengenai kriminalisasi,” ujar Sujarnako.

Rekomendasi PBB  antara lain mengenai aturan gratifikasi di Indonesia. Saat ini, gratifikasi diatur di dalam Pasal 12D UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal tersebut mengatur ancaman tidakan gratifikasi minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.

Selain itu,diatur mengenai hak imunitas. Disebutkan dalam pasal tersebut, penerima suap yang melaporkan gratifikasinya itu tidak bisa dipidana. “Menurut PBB, seharusnya penerima suap tidak bisa mendapat hak imunitas,” jelas Sujarnako.

PBB juga mendorong Indonesia untuk melakukan kriminalisasi keuangan publik tidak hanya di sektor pemerintah tetapi juga di sektor swasta. Selain itu, PBB meminta Indonesia untuk menegakkan hukum di lingkungan perusahaan asing maupun lembaga yang mengumpulkan uang dari publik.

“Indonesia juga diminta untuk melakukan pencegahan pencucian uang dan menegakkan integrasi lembaga peradilan dan penuntutan,” tambahnya.

Deputi II Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Agung Hardjono, mengatakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia telah membawa perbaikan layanan publik yang menjadi semakin cepat dan bersifat otomatis menggunakan komputer. Diamencontohkan, maraknya pemberlakuan proses pengurusan izin usaha melalu pelayanan terpadu satu pintu di seluruh daerah.

Agung menambahkan, aksi pemberantasan korupsi sudah cukup efektif dilaksanakan dengan menjunjung prinsip sistem peniup pluit kasus korupsi (whistleblower system). Misalnya, pengungkapan kasus dugaan suap perpajakan oleh Tommy Hendratmo seorang pegawai pajak di Sidoarjo. Selain itu, adanya pembongkaran kasus dugaan suap perpajakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak di Bogor.

“Kini Indonesia sudah mengalami peningkatan transparansi layanan publik karena masifnya upaya pencegahan korupsi. Namun, penilaian kualitas tetap harus ada monitoring dari masyarakat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait