Implikasi Pergeseran Filosofis Hukum Pertanahan terhadap Konflik Perkebunan
Terbaru

Implikasi Pergeseran Filosofis Hukum Pertanahan terhadap Konflik Perkebunan

Di era orde baru, muncul konflik vertikal antara masyarakat dengan korporasi yang didukung pemerintah. Seperti kasus fenomenal konflik pertanahan yaitu Kedung Ombo. Memasuki masa reformasi, reforma agraria dihidupkan kembali meski tidak berjalan serius.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Prof Lego Karjoko saat menjadi narasumber dalam IG bertajuk Pergeseran Orientasi Filosofis Politik Hukum Pertanahan dan Implikasinya Terhadap Konflik Perkebunan, Rabu (12/6/2024).
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Prof Lego Karjoko saat menjadi narasumber dalam IG bertajuk Pergeseran Orientasi Filosofis Politik Hukum Pertanahan dan Implikasinya Terhadap Konflik Perkebunan, Rabu (12/6/2024).

Rezim hukum pertanahan di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini mengalami perubahan signifikan. Era awal kemerdekaan, rezim hukum pertanahan berupaya melepaskan sistem warisan kolonial dengan ditandai kehadiran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof Lego Karjoko menjelaskan politik hukum pertanahan berdampak terhadap bentuk konflik perkebunan. Dia menjelaskan akar permasalahan konflik, yakni politik hukum pertanahan yang dianut sistem pemerintahan.

“Bicara hukum agraria, secara filosofis ada persaingan antara ide kolektivisme dan individualisme untuk mewujudkan keadilan agraria. Kita dapat warisan politik hukum kolonial terjadi ketimpangan penguasaan tanah. Pertama, konflik ketimpangan korporasi dengan masyarakat dan kedua konflik antara masyarakat itu sendiri,” ujarnya dalam Instagram Live bertajuk ‘Pergeseran Orientasi Filosofis Politik Hukum Pertanahan dan Implikasinya Terhadap Konflik Perkebunan’, Rabu (12/6/2024).

Seiring waktu, sejak 1945 terjadi beberapa penafsiran terhadap frasa ‘dikuasai oleh negara’ dan ‘kemakmuran rakyat’ pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Penafsiran tersebut dapat terlihat dalam produk hukum UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (PA). Dalam UU tersebut, tafsir ‘dikuasai negara diwujudkan’ dalam tiga bentuk.

Baca juga:

Pertama, kewenangan mengatur penyelenggaraan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam. Kedua, mengatur hubungan-hubungan hukum bumi, air dan ruang angkasa berkaitan peruntukan siapa yang menguasai tanah. Ketiga, kewenangan menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum. Seperti kontrak-kontrak antar warga negara dengan objeknya sumber daya agraria.

Selanjutnya, pada frasa ‘kemakmuran rakyat’ yang ditafsirkan dalam dalam UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan bentuk pemerataan penguasaan tanah melalui instrumen reforma agraria. “Penguasaan tanah yang tadinya timpang jadi tidak timpang sehingga menjadi tersebar ke sebagian besar rakyat Indonesia,” ujar Prof Lego.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait