Implementasi Kebijakan Belum Optimal Jadi Pemicu Karhutla
Berita

Implementasi Kebijakan Belum Optimal Jadi Pemicu Karhutla

​​​​​​​Baik kebijakan di bidang perkebunan, kehutanan dan agraria seperti PP No.4 Tahun 2001, Inpres No.8 Tahun 2018, Inpres No.5 Tahun 2019, dan Perpres No.86 Tahun 2018.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Aksi massa menolak pembakaran hutan dan lahan. Foto: RES
Aksi massa menolak pembakaran hutan dan lahan. Foto: RES

Pemerintah terus berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di berbagai wilayah seperti Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Belum lama ini Presiden Jokowi memantau langsung upaya pemadaman itu di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.

 

Berulang kali Jokowi memerintahkan jajarannya untuk melakukan pencegahan dan penindakan. “Termasuk tadi yang belum saya sampaikan, termasuk upaya hukum sudah kita lakukan baik yang perorangan, baik korporasi semuanya sudah ada tindakan tegas ke sana,” ucapnya sebagaimana dikutip dari laman resmi Setkab.

 

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, melihat pemerintah sudah menerbitkan banyak kebijakan di sektor perkebunan dan kehutanan serta pencegahan karhutla. Antara lain PP No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan, Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Inpres No.5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dan Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

 

Sayangnya berbagai kebijakan itu belum berjalan optimal sehingga perbaikan tata kelola di sektor perkebunan, kehutanan, dan agraria belum signifikan. Hal ini memunculkan dampak buruk seperti ketimpangan penguasaan lahan antara perusahaan dan masyarakat, konflik agraria, dan karhutla. Inda melihat karhutla sering terjadi di lahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan.

 

“Kendati pemerintah telah menerbitkan berbagai macam kebijakan, tapi karhutla masih terus terjadi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/9).

 

Bahkan Inda melihat di lahan konsesi perusahaan perkebunan sawit yang menjadi anggota RSPO terdapat titik panas. Padahal RSPO menerapkan sejumlah syarat yang ketat terhadap anggotanya untuk menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Inda berharap RSPO mengambil tindakan tegas terhadap anggotanya yang lahan konsesinya terbakar.

 

Begitu pula dengan pemerintah, Inda mendesak agar penegakan hukum dilakukan terhadap perusahaan yang tidak mampu mencegah kebakaran di area konsesinya. Inda mencatat tidak sedikit perkara perdata yang dimenangkan pemerintah dalam kasus karhutla tapi belum dieksekusi.

 

Sebagaimana Inpres No.8 Tahun 2018, Inda berharap pemerintah melakukan review terhadap seluruh izin yang diterbitkan untuk perkebunan kelapa sawit. Terhitung sudah setahun peraturan itu diterbitkan tapi sampai saat ini belum terlihat pelaksanaannya. Selain itu pemerintah juga harus menegakan semua peraturan yang ada seperti PP No.4 Tahun 2001.

 

“Kebakaran terjadi karena peraturan yang ada tidak dilaksanakan dan penegakan hukum tidak berjalan baik,” katanya.

 

Baca:

 

Tak ketinggalan Inda mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk responsif menangani warga yang terpapar asap. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan gratis bagi para korban.

 

Manajer Program dan Jaringan Lingkar Hijau Indonesia - Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, melihat di Sumatera Selatan belum ada upaya serius yang dilakukan pemerintah untuk menangani korban kabut asap akibat karhutla. Kebakaran terus berulang karena sejak karhutla besar di tahun 2015 pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai tidak pernah tegas menegakkan hukum. Padahal Hadi melihat banyak perusahaan yang lahan konsesinya terus terbakar setiap tahun.

 

Sekalipun menang gugatan di pengadilan, Hadi melihat pemerintah tak kunjung mengeksekusi putusan. Perusahaan yang harusnya dijatuhi sanksi tegas seolah mendapat subsidi terus menerus dari pemerintah, misalnya ketika lahan konsesi perusahaan terbakar, upaya pemadaman dilakukan oleh pemerintah dengan anggaran dari APBN/APBD.

 

“Seharusnya perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lahan konsesinya, pemerintah harus melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan tersebut,” ucapnya.

 

Penyegelan lahan yang terbakar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menurut Hadi sekadar formalitas. Ketika kebakaran mulai reda karena diguyur hujan, segel itu pasti dicabut kembali tanpa ada pertanggungjawaban dan proses hukum yang jelas terhadap perusahaan. “Konsep strict liability (pertanggungjawaban mutlak) wajib digunakan dalam proses penegakan hukum kasus karhutla,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait