Iman Sjahputra:
Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik
Profil

Iman Sjahputra:
Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik

Pemerintah diharapkan bisa segera membentuk lembaga sertifikasi untuk meneliti kelayakan setiap perusahaan yang akan melakukan usaha transaksi elektronik dan memberi pengesahan.

Inu/CR-9
Bacaan 2 Menit
Konsumen masih dirugikan dalam transaksi elektronik-Foto: Sgp
Konsumen masih dirugikan dalam transaksi elektronik-Foto: Sgp

Membeli barang lewat internet sudah biasa dilakukan. Dalam transaksi semacam itu, pembeli dan penjual tidak bertemu secara langsung. Pembeli tinggal membaca persyaratan yang sudah dibuat lebih dahulu si penjual.

 

Praktik dagang inilah yang mengusik rasa ingin tahu Iman Sjahputra. Pria kelahiran Pematangsiantar, Sumatera Utara 27 Oktober 1958 itu melihat dalam transaksi elektronik konsumen selalu dirugikan. Penyebabnya, dalam transaksi elektronik, pelaku usaha biasanya sudah membuat perjanjian baku.

 

Masalah inilah yang coba diangkat oleh managing partner kantor pengacara Iman Sjahputra & Associates ini ke dalam disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran, Bandung. Disertasi Iman bisa jadi semakin memperkuat analisis bahwa masyarakat awam sering dirugikan dalam dunia elektronik. Kasus Prita Mulyasari, konsumen rumah sakit yang diadili gara-gara mengirim email keluhan.

 

Untuk mengetahui lebih mendalam masalah tersebut, hukumonline mewawancarai advokat yang memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini. Wawancara berlangsung, awal Juli lalu di kantor Iman di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:

 

Apa yang mendorong Anda tertarik mengangkat masalah perlindungan konsumen, khususnya di bidang elektronik?

Pertama, dalam transaksi elektronik, konsumen selalu dirugikan. Terutama karena ada perjanjian baku yang dibuat sendiri oleh pelaku usaha. Misalnya jika kita beli software, sudah ada perjanjian baku yang disediakan pelaku usaha. Calon pembeli hanya tinggal meng-klik, setuju atau tidak. Tidak ada ruang tawar menawar tentang syarat-syarat transaksi. Sedangkan, dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, ada aturan tidak boleh perjanjian baku. Aturan ini kan batal demi hukum. Masalahnya produk transaksi elektronik ini tidak hanya berlaku di wilayah Indonesia, tapi banyak juga antar negara.  Ini dua alasan saya mengajukan topik disertasi ini.

 

Apakah dalam setiap transaksi perlu ada ruang tawar menawar syarat transaksi bagi konsumen?

Ya, ada ruang kesetaraan antara pelaku usaha dengan konsumen. Dalam transaksi elektronik kan tidak ada itu. Kalau setuju, transaksi terjadi. Kalau tidak setuju, tidak ada transaksi. Tidak ada hak bagi konsumen untuk menegosiasikan syarat transaksi. Jadi, konsumen selalu dirugikan dalam transaksi elektronik. Tidak ada aturan hukum di Indonesia yang melindungi konsumen dalam hal seperti tadi. UU Perlindungan Konsumen, hanya satu pasal yang terkait hal ini, yaitu Pasal 10 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan barang yang menyesatkan. Sementara di UU ITE tidak ada satu pun pasal yang melindungi konsumen. Jadi kekuatan konsumen tidak ada.

 

Apakah perjanjian baku dalam konteks transaksi elektronik bisa batal demi hukum?

Tergantung di mana terjadinya. UU Perlindungan Konsumen hanya berlaku di wilayah hukum indonesia. Sementara beberapa transaksi terjadi antar negara. Apalagi dalam prakteknya kan batalnya transaksi baku ini tidak batal demi hukum. Harus dimintakan dulu pembatalannya ke pengadilan.

 

Jadi menurut Anda, seharusnya bagaimana?

Ya, harus ada revisi UU Perlindungan Konsumen, perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. UU ini kan dibuat tahun 1999. Saat itu pemakaian internet di Indonesia belum begitu signifikan, apalagi transaksi melalui internet.  Saat ini, meski tidak sebesar negara lain, pemakaian internet sudah cukup meluas dan transaksi elektronik juga semakin banyak. Selain itu, perlu juga dimasukkan klausul untuk menjangkau pelaku usaha luar negeri. Karena transaksi elektronik banyak lintas negara kan.

 

Kerugian apa saja yang banyak dialami konsumen dalam transaksi elektronik?

Dalam transaksi elektronik, ada beberapa bentuk potensi kerugian konsumen, misalnya barang yang dikirim rusak atau tidak sesuai spesifikasi, barang tidak pernah sampai, padahal konsumen sudah bayar, pelaku usaha ternyata palsu.

 

Lebih banyak dengan pelaku usaha Indonesia atau luar negeri?

Luar negeri. Metode perdagangan via internet ini lebih populer di luar negeri. Konsumen Indonesia kemudian membeli barang ke pelaku usaha luar negeri seperti itu.  Di Indonesia sendiri, volume transaksi elekronik belum terlalu besar. Pengguna internet di Indonesia juga baru sekitar lima juta orang. Di Singapura, ada lembaga sertifikasi yang dibentuk, Asosiasi Konsumen Singapura. Disebut case trust. Lembaga ini meneliti kelayakan setiap perusahaan yang akan melakukan usaha transaksi elektronik dan memberi pengesahan. Penelitian kelayakan dilakukan dengan mengaudit keseluruhan data perusahaan. Hal ini untuk melindungi konsumen, jangan sampai perusahaan ini ternyata palsu.  Di Indonesia, pasal 10 UU ITE sudah mengamanatkan pembentukan lembaga sertifikasi keandalan. Bayangan saya, lembaga ini juga akan menilai kelayakan pelaku usaha transaksi elektronik. Sertifikasi kelayakan nantinya dikonkritkan dalam bentuk logo, disebut trust-mart. Konsumen tinggal melihat logo ini untuk menentukan layak atau tidaknya pelaku usaha dipercaya. Fungsi trust-mart ini penting sekali untuk membangun kepercayaan konsumen di internet.

 

Lembaga Sertifikasi Kelayakan atau LSK  tidak harus dipegang oleh pemerintah. Dapat diserahkan ke swasta, bahkan ke beberapa perusahaan agar terjadi kompetisi sehat yang akan menguntungkan konsumen. Setiap LSK belomba untuk menjadi lembaga sertifikasi andal sehingga konsumen mendapatkan jaminan yang benar.

 

Tapi kan Peraturan Pemerintahnya belum ada. Kita masih menunggu apakah Pemerintah bersedia untuk segera merealisasikan hal ini. Sudah dua tahun sejak 2008, lembaga ini belum dibentuk.

 

Sejauh mana pemahaman konsumen Indonesia tentang hal-hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik?

Masih banyak konsumen yang hanya paham bahwa transaksi elektronik sebatas belanja di internet, klik sini klik sana, tanpa berusaha memahami syarat-syarat yang dibuat pelaku usaha.

 

Masalah kewaspadaan terhadap penipuan?

Ya, itu juga masih kurang. Apalagi belum ada LSK. Jadi konsumen belum bisa membedakan mana pelaku usaha yang benar dan jujur, mana yang beriktikad buruk. Karena itu, keberadaan LSK dan logo trust-mart sangat diperlukan. Di banyak negara, lembaga seperti ini berperan besar dan mereka diakui pemerintah.

 

Sejauh mana kasus kerugian konsumen dari transaksi elektronik?

Jumlahnya banyak. Tapi seringkali tidak dilaporkan ke pihak berwenang karena nilai transaksinya dianggap tidak terlalu besar. Padahal beberapa masuk ranah pidana, kasus penipuan.

 

Apakah ada yang dilaporkan?

Ada.

 

Sejauh mana reaksi kepolisian dalam menerima laporan kasus ini?

Kepolisian sudah baik, mereka juga punya desk cyber crime, yang menangani tindak pidana terkait elektronik.

 

Yang masuk pengadilan?

Belum ada kasus yang masuk pengadilan. Ini berarti kerugian lagi bagi konsumen.

 

Gugatan perdata?

Juga belum ada. Alasannya juga karena pihak korban sendiri tidak mau meneruskan guguatan. Mereka menganggap nilai kerugian tidak sebegitu besar, apalagi dibanding biaya yang akan dikeluarkan lagi.

 

Di dunia internasional, apakah tidak ada mekanisme mengadili sengketa konsumen?

Indonesia pernah menginisiasi hal ini untuk tingkat ASEAN. Namun, tampaknya upaya mewujudkan ini masih sulit. Paling maksimal, kita bisa melaporkan ke Kementerian Perdagangan. Lalu Kementerian Perdagangan akan menyampaikan komplain ke negara yang bersangkutan.

 

Apa sebaiknya yang dilakukan konsumen agar mereka lebih berdaya?

Kebanyakan konsumen tidak melapor juga karena mereka sendirian. Kalau mereka berkelompok, mungkin keberanian bisa lebih didorong. Dengan begitu, kemungkinan berhasil juga lebih besar. Pemerintah juga perlu meningkatkan kesadaran konsumen untuk mau melaporkan atau mengajukan gugatan.

 

Bagaimana tingkat transaksi elektronik di Indonesia dan korelasinya dengan kompalin konsumen?

Meningkat. Tapi saya tidak tahu tingkat komplain konsumen di Indonesia. Apalagi transaksi ini juga seringkali melibatkan pelaku usaha di luar negeri. Artinya, jika ada komplain, diajukan bukan ke indonesia.

 

Dapatkah kewenangan sertifikasi ini dilekatkan saja pada Badan Standarisasi Nasional?

Sebaiknya tidak. Apalagi, menurut saya lebih baik jika standarisasi ini dilakukan oleh lebih dari satu lembaga, dan itu lembaga swasta.

 

Bagaimana peran Pemerintah?

Pemerintah yang melegalisasi. Jadi, pelaku usaha yang akan melakukan usaha via internet harus mendaftar ke pemerintah. Pemerintah nanti menyerahkan sertifikasi kepada LSK. Laporan dari LSK-lah yang menjadi dasar Pemerintah memberian legaliasi terhadap pelaku usaha tersebut.

 

Apa harapan Anda?

Pemerintah bisa segera membentuk LSK. Sekarang sudah dua tahun sejak UU ITE diundangkan, namun peraturan pemerintah yang membentuk LSK belum juga muncul. 

Tags: