Imam Subarkah: BI Punya Regulasi yang Larang Penggunaan Bitcoin
Berita

Imam Subarkah: BI Punya Regulasi yang Larang Penggunaan Bitcoin

Direktur Departemen Hukum Bank Indonesia (BI), Imam Subarkah menyebutkan dua Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penyelenggaraan Pemprosesan Transaksi Pembayaran dan PBI Penyelenggaraan Teknologi Finansial tegas melarang penggunaan virtual currency termasuk Bitcoin sebagai alat pembayaran.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Direktur Departemen Hukum BI, Imam Subarkah. Foto: NNP
Direktur Departemen Hukum BI, Imam Subarkah. Foto: NNP

Bank Indonesia (BI) sudah memiliki dua peraturan yang tegas melarang penggunaan cryptocurrency. Larangan penggunaan virtual currency termasuk Bitcoin yang diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersebut melarang sepanjang mata uang digital digunakan sebagai alat pembayaran.

 

Direktur Departemen Hukum BI, Imam Subarkah mengatakan, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tidak mengenal penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran dan transaksi. Bahkan, BI melalui ketentuan dalam PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Tekfin) dan PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP) tegas melarang penggunaan virtual currency dalam bertransaksi.

 

“Dalam PBI Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PJSP (Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran) dilarang bertransaksi menggunakan virtual currency, tidak hanya Bitcoin. Kemudian di PBI Tekfin diperketat kembali untuk penyelenggara Fintech dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency. Sudah berlapis-lapis,” kata Imam kepada Hukumonline, Selasa (12/12).

 

Imam menjelaskan, mesti dibedakan antara uang elektronik (e-money) dengan virtual currency. Terkait penggunaan virtual currency (cryptocurrency), memang tidak dikenal dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 kecuali dilakukan revisi. Sementara, e-money merupakan instrumen pembayaran seperti Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang digunakan sebagai transaksi yang sah. Dengan kata lain, e-money hanya mengubah dari uang fisik kemudian dimasukan dalam server atau chip kartu.

 

“Kita naruh uang Rp 100 ribu dalam chip di server dan itu yang digunakan untuk transaksi. Jadi, tidak ada penambahan uang baru tetapi hanya uang fisik yang kemudian kita simpan dalam chip,” kata Imam.

 

(Baca Juga: BI Ingatkan Masyarakat Risiko Bitcoin)

 

Lantas, mengapa penggunaan Bitcoin dilarang? Yang pertama, BI tegas mengatakan bahwa penggunaan Bitcoin memiliki sejumlah risiko yang tidak bisa dijamin siapapun. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengatakan bahwa masyarakat tidak menganggap enteng risiko yang mungkin dimunculkan dari investasi menggunakan mata uang digital alias cryptocurrency bernama Bitcoin. Kata Agus, mata uang digital terseut tidak dijamin dan merupakan investasi yang tidak diakui di Indonesia. Bitcoin juga bukan merupakan alat pembayaran yang sah.

 

"Jadi saya ingin mengatakan resiko itu adalah sesuatu yang jangan diambil enteng. Itu adalah sesuatu yang jangan kemudian disesali kalau seandainya ada masyarakat yang ingin lebih jauh mengetahui tentang Bitcoin," kata Agus sebagaimana dikutip Antara, Senin (11/12).

 

Hal senada turut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kata Ani –sapaan akrab Sri-, masyarakat diharapkan tidak berspekulasi untuk berinvestasi di mata uang digital. Satgas Waspada Investasi juga mengingatkan masyarakat untuk tidak bertransaksi menggunakan mata uang digital karena selain melanggar ketentuan otoritas sistem pembayaran, mata uang virtual itu kerap mengiming-imingi imbal hasil yang tidak masuk akal.

 

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing, mengatakan saat ini terdapat dua pelaku transaksi Bitcoin. Pertama, pelaku atau industri yang berdiri sebagai ‘marketplace, yakni tempat bertemu pembeli dan penjual mata uang virtual. Kedua, pelaku atau industri yang menawarkan investasi di Bitcoin. Menurut Tongam, mata uang virtual untuk investasi berpotensi merugikan masyarakat karena perusahaan tersebut mengiming-imingi bunga yang tidak masuk akal.

 

“Jika masyarakat ingin berinvestasi, lebih baik ke sektor produktif atau ke produk keuangan yang legal,” kata Tongam.

 

Sayangnya, masyarakat sendiri justu memiliki minat terhadap cryptocurrency. Hal tersebut diungkapkan Kepala Ahli Ekonomi PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan. Katanya, bitcoin diminati terutama oleh kalangan investor ritel. Ia berpendapat bitcoin memberikan pengaruh terhadap pola dan mekanisme investasi, terutama ke kalangan investor ritel. Menurutnya, fenomena bitcoin masih akan berlanjut sampai tahun 2018. Namun, ia mengingatkan risiko yang mungkin dimunculkan melalui investasi mata uang virtual tersebut.

 

(Baca Juga: Mengenal 3 Perusahaan Bitcoin Ilegal yang Dihentikan Satgas)

 

"Bitcoin ini diminati oleh investor ritel, kalau investor institusi biasanya tidak terlalu menyukai bitcoin karena tidak mau terlalu mengambil risiko. Tentu ada risikonya, sudah banyak analis dan pelaku pasar yang mewanti-wanti karena nilai bitcoin yang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir, takutnya langsung turun juga," kata Katarina, Selasa (12/12).

 

Dalam kesempatan wawancara, Hukumonline mencoba menayakan lebih lanjut kepada Imam, bagaimana sebetulnya BI melihat fenomena Bitcoin. Adakah regulasi yang akan dibuat untuk menegaskan larangan penggunaan Bitcoin. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana sebetulnya pandangan BI terkait cryptocurrency?

Kita sedang membuat studi awal mengenai Central Bank Digital Currency (CBDC), tapi itu masih panjang, masih tahap diskusi awal. Ada dua pola, kalau digital currency dari uang elektronik dan digital currency dari legal tender kaya Rupiah (criptocurrency). Untuk yang kedua (cryptocurrency) itu memang harus ada perubahan undang-undang. Karena kita hanya mengenal uang itu kertas dan koin, tidak kenal uang elektronik dalam arti yang virtual currency.

 

Tapi kalau uang elektronik yang kita kenal sekarang itu lebih mirip instrumen pembayaran, seperti APMK. Kita beli dulu atau naruh uang Rp 100 ribu dalam chip di server dan itu yang digunakan untuk transaksi. Jadi, tidak ada penambahan uang baru tetapi hanya uang fisik yang kemudian kita simpan dalam chip.

 

Bagaimana ketika Bitcoin untuk investasi?

Kalau dia digunakan sebagai alat pembayaran, dalam UU Mata Uang ada aturannya. Yang wajib digunakan adalah rupiah. Yang dilakukan BI waktu itu adalah mengimbau bahwa Bitcoin tidak melulu sebagai alat pembayaran tapi sebagai investasi, kalau itu kan tidak bisa dijangkau. Tapi kalau ditransaksikan, kita sudah larang. Dalam PBI Tekfin disebut bahwa pelaku usaha jasa keuangan dilarang virtual currency. Melalui itu kita lakukan larangan.

 

BI artinya tegaskan Bitcoin tidak bisa untuk alat pembayaran?

Tidak bisa. Ada Press release (rilis pers) tahun 2014 dan PBI Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PJSP dilarang bertransaksi menggunakan virtual currency, tidak hanya Bitcoin. Kemudian di PBI Tekfin diperketat kembali untuk penyelenggara Fintech dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency. Sudah berlapis-lapis. Muaranya kalau untuk pembayaran dan sistem pembayaran. Tapi kalau untuk trading, komoditas, investasi itu di luar BI. Itu susah mengkontrolnya. 

 

Ada koordinasi antar regulator?

Dengan OJK, kemarin kita berkoordinasi dengan Satgas Waspada Investasi untuk membidik investasi bodong yang merugikan masyarakat. Yang terakhir, kita terima surat dari OJK bahwa ada penggunaan virtual currency untuk alat pembayaran. Hasil analisa kita, intinya bahwa itu tidak untuk sistem pembayaran. Tapi di luar OJK sementara ini belum.

 

Artinya pengaturan cukup dengan beberapa PBI di atas?

Pengaturan sudah ada bahwa dia dilarang sebagai alat pembayaran. Intinya, PJSP dilarang menggunakan dengan virtual currency. Artinya kita atur, yaitu dilarang sebagai alat pembayaran. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait