Anggota Tim Pokja lain, Maryati Abdullah, mencatat beberapa hal terkait ketentuan UU Cipta Kerja yang mengatur sektor minyak dan gas (migas). Misalnya, Pasal 4 UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menegaskan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan membentuk Badan Pelaksana. Tapi, dalam UU Cipta Kerja, klausul “penguasaan oleh negara” sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak lagi ditegaskan, tapi diganti dengan kalimat frasa “diselenggarakan oleh pemerintah melalui kegiatan usaha migas.”
Dampak ketentuan tersebut tidak ada lagi penegasan siapa pemegang kuasa pertambangan dalam industri migas. Padahal, Pasal 1 ayat (5) UU No.22 Tahun 2001 mengenai definisi kuasa pertambangan tidak dihapus. Dengan tidak adanya kalimat yang menegaskan penguasaan oleh negara melalui penyelenggaraan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, hal ini akan menimbulkan pertanyaan. Hal ini memerlukan tafsir pembuat UU berdasarkan konstitusi, apakah ini sudah atau belum mencerminkan bentuk penguasaan negara.
“Untuk membedakan peran negara sebagai pemilik mineral right dan peran pemerintah yang menjalankan fungsi tersebut melalui pengelolaan/penatausahaan/penatakelolaan economic right sektor SDA Migas,” ujar alumnus FEB UI yang juga Koordinator Nasional PWYP Indonesia itu.
Komunitas penyandang disabilitas pun menyuarakan tuntutan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja dengan 10 alasan. Selain tidak dilibatkan, secara umum mereka menilai materi muatan RUU Cipta bentuk kemunduran terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
“Mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari dimulai sejak hari ini,” ujar anggota Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja 2020, Fajri Nursyamsi melalui konfrensi pers melalui virtual, Senin (12/10/2020). (Baca Juga: 10 Alasan Penyandang Disabilitas Dorong Presiden Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja)