ILUNI FHUI Sebut Pengabaian Putusan MK Bentuk Praktik Pembegalan Demokrasi
Terbaru

ILUNI FHUI Sebut Pengabaian Putusan MK Bentuk Praktik Pembegalan Demokrasi

ILUNI FHUI mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada yang dilaksanakan secara sembrono demi kepentingan politik golongan tertentu jelang Pilkada 2024.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Suasana sidang Mahkamah Kosntitusi (MK). Ilustrasi: RES
Suasana sidang Mahkamah Kosntitusi (MK). Ilustrasi: RES

Respons DPR terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 mendapatkan kritik keras dari banyak pihak, salah satunya adalah Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI). Secara tegas, ILUNI FHUI menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata-nyata dipertontonkan secara luas.

Pertunjukan akrobat dalam proses revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang secara spontan bisa disepakati hanya dalam hitungan jam pasca diputuskannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024, merupakan fenomena nyata bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mencederai sistem hukum nasional.

Dalam Putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan ini menetapkan terkait persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan calon kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Putusan ini bertujuan memberikan kejelasan mengenai ambang batas suara sah dalam proses pencalonan.

Baca Juga:

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang Undang (UU Pilkada), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK ini juga mempertimbangkan bahwa syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan. Maka, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan.

Alih-alih mematuhi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, tidak lama berselang DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang justru malah mengesampingkan isi dari Putusan MK dimaksud. Praktek ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait