Ikatan Notaris Bakal Jadi Pihak Terkait di Uji Konstitusionalitas MKN
Berita

Ikatan Notaris Bakal Jadi Pihak Terkait di Uji Konstitusionalitas MKN

INI menilai MKN dibentuk tidak untuk menjadikan notaris menjadi imun (kebal) terhadap proses hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua Bidang Perlindungan Profesi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Agung Iriantoro. Foto: RES
Ketua Bidang Perlindungan Profesi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Agung Iriantoro. Foto: RES

Belum lama ini, Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dan beberapa jaksa senior, seperti Asep N Mulyana, Reda Manthovani, R. Narendra Jatna mendaftarkan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terkait pemeriksaan proses peradilan yang melibatkan notaris dengan syarat persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN).

 

Para pemohon menilai frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No.2 Tahun 2014 ini dinilai bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan masalah dalam praktik. Sebab, MKN seolah menjelma sebagai lembaga pelindung profesi notaris ketika diduga melakukan tindak pidana atau menjadi saksi untuk menghindari kewajiban hukum sebagai warga negara.

 

Menanggapi permohonan ini, Ketua Bidang Perlindungan Profesi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Agung Iriantoro membantah tudingan bahwa keberadaan MKN untuk melindungi profesi notaris dari proses hukum. Justru, kata dia, pembentukan MKN untuk melakukan pengawasan dan pembinaan jabatan notaris sesuai peraturan dan kode etik jabatan.  

 

“Lembaga ini dibentuk tidak untuk menjadikan notaris menjadi imun (kebal) terhadap proses hukum. Tidak ada satu lembaga pun yang menjadikan profesi notaris kebal hukum,” kata Agung di Jakarta, Senin (17/2/2020).

 

Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris

Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

 

Dia menilai norma Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 ini bukan bentuk perlindungan terhadap profesi notaris. Namun, dia mengakui jika menyangkut pemeriksaan notaris (dalam proses hukum) terkait jabatan notaris memang melalui MKN. Akan tetapi, jika tidak terkait jabatan notaris, tidak perlu melalui MKN.

 

“UU Jabatan Notaris perintahnya seperti itu, jika pemeriksaan berkaitan jabatannya, melalui MKN. Jika terkait persoalan pribadinya, MKN tidak berwenang terhadap hal itu. Jadi, MKN itu sifatnya pembinaan terhadap notaris,” kata dia.

 

Agung menerangkan kelembagaan MKN bentuk pelimpahan kewenangan pengadilan negeri untuk mengawasi notaris berdasarkan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pelimpahan kewenangan ini PN tidak memberi kewenangan administrasi nonyudisial, tetapi kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga MKN. 

 

INI akan segera mendaftarkan diri menjadi pihak terkait dalam sidang uji materi Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris karena menyangkut jabatan notaris,” kata dia. Baca Juga: Giliran Jaksa Persoalkan Aturan Impunitas Jabatan Notaris

 

Sebelumnya, para pemohon mendalilkan frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014, MKN memiliki kewenangan mutlak dan final untuk menyetujui atau tidak menyetujui pemanggilan notaris untuk hadir dalam pemeriksaan perkara. Aturan ini tentu menghambat proses penanganan perkara. Bahkan, ketika penyidik, penuntut umum, atau hakim yang ditolak MKN ketika memanggil notaris, tidak dapat melakukan upaya hukum.  

 

Menurutnya, frasa tersebut bertentangan dengan sejumlah asas/prinsip hukum, seperti equality before the law yang diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; asas equality oarms (persamaan kedudukan); nondiskriminasi yang  bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; dominus litis (penguasa perkara) yang melekat pada jaksa; peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.  

 

Para Pemohon meminta Majelis MK menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris sepanjang frasa/ kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” bertentangan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.  

 

“Karena itu, Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris harus dibaca: Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris’,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

 

Untuk diketahui, pengujian Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 ini pun sebenarnya pernah dimohonkan pengujian oleh seorang advokat bernama Tomson Situmeang. Dia mempersoalkan Pasal 66 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU No. 2 Tahun 2014, khususnya frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” terkait pemeriksaan proses peradilan yang melibatkan notaris. Alasannya, ketentuan serupa pernah dibatalkan MK melalui uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, khususnya frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah.”

 

Namun, melalui putusan bernomor 72/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada Rabu (26/8/2015) silam, permohonan ini dinyatakan tidak dapat diterima dengan dalih pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Alasannya, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian pemohon baik secara nyata maupun potensial dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Bagi Mahkamah, pemohon yang berprofesi sebagai advokat justru telah dijamin dan dilindungi haknya dengan keberadaan Majelis Kehormatan Notaris ini.  

Tags:

Berita Terkait