IKAPI Usulkan Collecting Society untuk Industri Perbukuan
Berita

IKAPI Usulkan Collecting Society untuk Industri Perbukuan

Banyak penerbit mengabaikan aspek-aspek hukum penerbitan. RUU Perbukuan dianggap terlalu berorientasi text book.

Mys
Bacaan 2 Menit
IKAPI Usulkan <i>Collecting Society</i> untuk Industri Perbukuan
Hukumonline

 

Declare!, adalah buku yang berisi pengalaman penerbit-penerbit di Yogyakarta menghadapi berbagai problem tersebut. Said mengapresiasi semangat sejumlah pihak di Yogyakarta untuk menerbitkan buku. Cuma, ia menengarai beberapa penerbit masih menganggap hak cipta sebagai hambatan. Salah satu yang sangat disayangkan Said adalah banyaknya penerbit yang mengabaikan hak cipta dan perlindungan hukum kepada penulis buku. Sayang betul, potensi penerbitan tapi tidak berada pada jalan yang lurus, ujarnya.

 

Adhe, penulis buku Declare, membenarkan apa yang ditengarai Said. Banyak penerbit di Yogyakarta yang tidak memikirkan persoalan-persoalan hak kekayaan intelektual buku terlebih dahulu sebelum menerbitkan buku. Bahkan tidak sampai memikirkan lebih jauh apakah buku yang diterbitkan dibeli atau tidak, dipahami atau tidak. Yang penting bikin buku dulu, ujarnya.

 

Adhe mengakui booming penerbitan buku di Yogya berpotensi menimbulkan persoalan. Misalnya, karena para penerbit tak saling kenal, sejumalh buku yang terbit memiliki kesamaan tema bahasan dan kemiripan tampilan. Kondisi ini pula yang memungkinkan terjadinya buku-buku asing diterbitkan oleh dua penerbit berbeda. Sekedar contoh, di Jakarta, penerbit Gema Insani Press pernah disomasi oleh penerbit Almahira gara-gara hak cipta atas terjemahan buku.

 

RUU Perbukuan

Selain berharap pada revisi UU Hak Cipta, saat ini kalangan penulis dan penerbit menunggu nasib RUU Perbukuan. Selama dua tahun terakhir, pembahasan RUU ini nyaris tak terdengar. Padahal, RUU ini juga akan menyinggung pembajakan dalam industri buku. RUU ini juga akan mengatur mekanisme distribusi buku-buku pelajaran, yang hingga kini masih diributkan. Kehadiran RUU Perbukuan kian melengkapi payung hukum bagi mereka yang bergelut di bidang perbukuan karena sebelumnya sudah ada UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dan UU No. 4 Tahun 1990 tentang Wajib Simpan Karya Cetak.

 

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pernah mengungkapkan bahwa RUU Perbukuan berusaha mengatasi masalah-masalah perbukuan, khususnya penyediaan buku sekolah yang nyaris setiap tahun ajaran baru berganti serta meminimalisir monopoli perbukuan.

 

Namun, pengamat perbukuan Frans Parera mengkritik RUU Perbukuan yang terlalu textbook oriented, seolah-olah masalah perbukuan hanya menyangkut sekolah. Terlalu sempit pandangan yang hanya mengaitkan industri perbukuan dengan sekolah, dan pandangan semacam itu kurang mendukung pengembangan budaya baca masyarakat. (RUU Perbukuan) kurang mengungkap trend perbukuan, ujarnya.

 

Menurut Frans Parera, seharusnya RUU Perbukuan bisa menangkap trend pengembangan industri perbukuan Indonesia ke luar negeri. Kelak, kalangan penerbit bukan hanya berorientasi menerbitkan karya terjemahan penulis luar negeri. Buku-buku Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing memiliki prospek kalau dikelola dengan baik. Dan, RUU Perbukuan mestinya bisa menangkap peluang tersebut agar buku-buku karya orang Indonesia dikenal di luar negeri.

 

Melihat fakta banyaknya pembajakan, yang berakibat pada pembayaran royalti kepada penulis, kalangan penerbit buku ternyata ingin meniru para seniman di industri musik. Kalangan penerbit ingin memiliki lembaga yang memungut dan mengumpulkan royalti buku atau collecting society sebagaimana Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) di industri musik.

 

Menurut Awod Said, gagasan pembentukan collecting society sudah diusulkan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) kepada tim penyusun revisi UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan memasukkan lembaga semacam itu diharapkan pemenuhan hak-hak ekonomi penulis bisa terpenuhi, sekaligus mengurangi praktik pembajakan buku. Kami mengusulkan semacam KCI dalam perbukuan, ujar Ketua Kompartemen Organisasi, Hukum dan Hak Cipta Ikapi itu.

 

Pernyataan itu disampaikan Awod Said saat tampil sebagai pembicara pada bedah buku Declare! Bercermin dari Kamar Kerja Penerbit Yogyakarta (1998-2007) di Jakarta, Rabu (24/7). Menurut dia, selain pembajakan buku, industri perbukuan masih menghadapi sejumlah persoalan. Mulai dari harga kertas yang mahal hingga manajemen perusahaan penerbitan.

 

Said tak menyinggung nasib YKCI yang dalam beberapa kasus harus menghadapi gugatan di pengadilan. Sebagaimana diketahui, 10 perusahaan rekaman atau label pernah melayangkan gugatan terhadap YKCI. Penggugat mempersoalkan dasar kewenangan YKCI melakukan pungutan atas royalti lagu. Kalau lembaga collecting society dibentuk kalangan perbukuan dan penulis, bukan tidak mungkin persoalan serupa muncul.

Halaman Selanjutnya:
Tags: