Ijin Operasi Pertambangan di Areal Hutan Masih Kontroversi
Berita

Ijin Operasi Pertambangan di Areal Hutan Masih Kontroversi

Enam perusahaan pertambangan dapat beroperasi di areal kehutanan. Namun, pemberian izin tersebut dikhawatirkan bisa menabrak UU Kehutanan. Departemen Kehutanan sendiri mengusulkan terobosan teknologi ramah lingkungan bagi pertambangan di hutan lindung.

Rep
Bacaan 2 Menit
Ijin Operasi Pertambangan di Areal Hutan Masih Kontroversi
Hukumonline

Masalah perijinan penggunaan kawasan hutan lindung untuk pertambangan telah menjadi polemik berkepanjangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah daerah. Selain itu, terjadi tarik menarik antardepartemen karena kepentingan yang berbeda. Padahal, aturan mengenai penggunaan kawasan hutan lindung sudah jelas.

UU No.41/1999 tentang Kehutanan Pasal 38 ayat(1) menyatakan bahwa "Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung". Kemudian dalam ayat (4) dinyatakan bahwa "Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka".

Jelas bahwa pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung tidak diijinkan. Selain melanggar UU Kehutanan, juga mengingat pentingnya kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kerusakan hutan lindung dan kawasan konservasi berdampak luas. Di musim kemarau akan menyebabkan kekeringan, dan di musim hujan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir.

Tumpang tindih

Berdasar UU Kehutanan, Departemen Kehutanan (Dephut) menilai bahwa pada saat ini terdapat 22 lokasi ijin pertambangan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung.  Dari 22 lokasi pertambangan, baru 18 lokasi yang lengkap datanya. 

Sementara, 4 perusahaan lainnya belum ada data koordinatnya, sehingga belum bisa ditelaah oleh Dephut. Keempat perusahaan itu adalah PT Westralian Atan Minerals di Kalimantan timur, PT Kelian Equatorial Mining di Kalimantan Timur, PT Meares Soputan Mining di Sulawesi Utara, dan PT Arutmin Indonesia di Kalimantan Selatan.  

Hasil telaah terhadap 18 perusahaan dapat dikelompokan menjadi tiga kategori. Pertama, PT Citra Palu Mineral seluas 233.280 hektare berlokasi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan menjadi satu-satunya perusahaan yang dilarang beroperasi. Hingga sekarang, perusahaan ini belum mengantungi izin dari Gubernur. Pasalnya, lokasinya persis berada di Taman Hutan Rakyat Poboya. Hutan ini memang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi.

Kedua, hasil reskoring  pada 3 lokasi kontrak pertambangan menunjukkan terdapat bagian-bagian tertentu yang memungkinkan dilakukan kegiatan penambangan, yaitu pada lokasi yang dapat diubah fungsinya menjadi hutan produksi terbatas.

Ketiga lokasi itu adalah PT Weda Bay seluas 90.020 hektare yang berlokasi di kelompok hutan G. Mirarong-G. Tabobo, Kabupaten Maluku Utara; PT Nusa Halmahera seluas 398.600 hektare yang berlokasi di hutan Bukit Gauraja-Bukit Saolat, Kabupaten Halmahera Tengah; PT Gag Nikel seluas 13.140 hektare berlokasi di Pulau Gag, Kabupaten Sorong, Papua.

Ketiga, dapat dilakukan pertambangan karena terletak pada hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi (HP), dan areal penggunaan lain (APL). Tiga perusahaan termasuk kategori ini, yaitu PT Galuh Cempaka seluas 3.920 hektare, lokasi di Propinsi Kalimantan Selatan; PT Jorong Barutama Greston seluas 14.720 hektare, lokasi Papua; PT Barisan Tropical Mining, seluas 12.160 hektare, lokasi Sumatera Selatan.

Padahal, PT Galuh Cempaka, misalnya, sudah mendapat penolakan dari Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI) Kalimantan Selatan. Pasalnya, Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan yang beroperasi di Banjarbaru itu dinilai tidak jelas.

Preseden buruk

Dephut berdalih bahwa kegiatan pertambangan dapat dilaksanakan terlebih dahulu di lokasi pertambangan yang ijin lokasinya berada pada HPT dan HP. Sementara pengalaman beroperasi di kawasan HP dan HPT akan merupakan barometer untuk mendapatkan kepercayaan publik secara luas bagi perusahaan-perusahaan tadi, sehingga perluasan ke arah hutan lindung dapat dilakukan kemudian melalui proses reskoring.

Sikap Dephut yang 'melunak' sebenarnya mengherankan. Pasalnya, dari awal Dephut termasuk pihak yang "menolak" memberi izin kepada perusahaan pertambangan bermasalah. Departemen yang dipimpin M. Prakosa inilah yang memegang mandat UU Kehutanan.

Justru, instansi terkait lain getol meminta agar izin tersebut segera diloloskan pemerintah. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, misalnya, menyarankan agar UU Kehutanan direvisi saja untuk mengatasi hambatan investasi di bidang pertambangan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkhawatirkan pemberian izin pertambangan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini dinilai bermasalah dari segi kelestarian lingkungan. Menurut JATAM, pemberian izin tersebut menabrak ketentuan yang tercantum dalam UU Kehutanan. Lokasi perusahaan-perusahaan tersebut ditengarai  menyentuh kawasan hutan lindung.

Apapun alasan Pemerintah, JATAM melihat kebijakan Pemerintah itu sebagai preseden buruk ke depan. Sebab, perusahaan lain pun bisa segera antre mendapat izin Dephut. Lagi pula, Dephut menjadi benteng terakhir mempertahankan UU Kehutanan.

Terobosan teknologi

Dephut malah mengusulkan, diperlukan terobosan oleh investor untuk berani mencari dan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan dalam memperbaiki kondisi lingkungan bekas penambangan yang dinyatakan dalam bentuk agreement dengan Pemerintah. 

"Hal ini perlu untuk dikaji oleh semua pihak, mengingat hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya merupakan benteng terakhir bagi praktek pertambangan di hutan lindung," cetus Tachrir Fathoni, Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan dalam siaran persnya.

Tachrir mengemukakan bahwa saat ini kondisi hutan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pengalaman menunjukkan, kawasan bekas tambang mengalami kerusakan lingkungan yang tidak terpulihkan. Pasalnya, kegiatan reklamasi yang dipersyaratkan tidak dilaksanakan dengan baik. 

Di sisi lain, dampak ekonomi bagi masyarakat setempat sering tidak mencerminkan kehebatan yang ditonjolkan seperti pada saat proposal investasi tambang diajukan.  Selain itu, penyerapan tenaga kerja lokal juga kurang karena pada umumnya input produksinya didatangkan dari luar daerah, atau bahkan diimpor.

Menurut Tachrir, dengan semangat optimalisasi perundangan, perlu dipikirkan bagaimana persoalan pertambangan dalam hutan lindung ini dapat diselesaikan. Harapannya, ada keselarasan antara kebutuhan standar teknis kegiatan pertambangan dengan standar teknis penggunaan kawasan hutan berdasarkan pengelolaan hutan lestari.

 

Tags: