Government Shutdown Sulit Terjadi di Indonesia, Mengapa?
Berita

Government Shutdown Sulit Terjadi di Indonesia, Mengapa?

Ada tiga implikasi yuridis jika RUU APBN ditolak DPR.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi pemikiran Prof. Arifin P. Soeria Atmadja di FH UI Depok, Selasa (26/2). Foto: MYS
Para pembicara dalam diskusi pemikiran Prof. Arifin P. Soeria Atmadja di FH UI Depok, Selasa (26/2). Foto: MYS

Penghentian kegiatan atau layanan pemerintah federal di Amerika Serikat untuk beberapa saat, lazim dikenal sebagai shutdown, merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Negara kaya seperti Amerika Serikat pun bisa mengalaminya akibat tidak tercapainya konsensus anggaran yang disusun dalam rancangan anggaran pengeluaran negara (proposed spending bill).

Beberapa layanan non-esensial di Amerika Serikat terpaksa dihentikan, dan sejumlah pegawai pemerintah diminta cuti akibat Kongres belum menyetujui anggaran pemerintah federal (federal budget). Salah satu yang ditolak Kongres adalah anggaran pembangunan tembok pembatas AS-Mexico yang diusulkan Presiden Donald Trump.

Kasus semacam ini menunjukkan bukti kemungkinan ekses jika ada penolakan parlemen terhadap rencana anggaran pemerintah. Tetapi di Indonesia, kejadian serupa diyakini sulit terjadi meskipun DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diusulkan Presiden.

Kejadian government shutdown di Amerika Serikat dan implikasinya bagi proses penganggaran di Indonesia telah menjadi topik diskusi Pemikiran Profesor Arifin P. Soeria Atmadja yang diselenggaran di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (26/2) kemarin. Peristiwa serupa diperkirakan sulit terjadi di Indonesia karena perbedaan mekanisme penganggaran.

(Baca juga: Perjuangan Memisahkan Harta BUMN Sebagai Kekayaan Negara Belum Usai).

Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UI, Dian Puji Simatupang mengatakan dalam sejarahnya RUU APBN tidak pernah ditolak DPR. Meskipun pernah satu kali ditolak, persoalan tidak berlanjut karena Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Dian mengingatkan pemikiran ahli keuangan negara, almarhum Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, bahwa RUU APBN itu unik, berbeda dari RUU lainnya. Dapat dilihat, misalnya, dari fakta belum pernah ada Perppu tentang APBN. Selain itu, dalam mengajukan RUU APBN, Presiden selalu menyampaikan langsung ke DPR, sedangkan RUU lain biasanya diwakili oleh menteri yang ditunjuk. “Pemikiran Profesor Arifin tentang kekhasan RUU APBN masih relevan,” ujar Dian.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi mengajukan rancangan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR. Dalam rangka pembahasan rancangan APBN itu, DPR memberikan pertimbangan yang diberikan DPD. Rancangan APBN itu tertuang dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). DPR berhak menolak rancangan APBN yang diusulkan Pemerintah.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yuli Indrawati, memaparkan dalam acara yang sama, tiga implikasi yuridis jika RUU APBN ditolak DPR. Pertama, sesuai konstitusi, jika DPR menolak maka yang berlaku adalah APBN tahun lalu. Bukankah APBN tahun lalu sudah mendapat persetujuan DPR? Ini berarti tidak akan terjadi shutdown pemerintahan jika RUU APBN ditolak.

Kedua, jika APBN tahun lalu ternyata sudah mengalami perubahan (APBN-P), manakah yang akan berlaku: APBN atau APBN-P? Menurut Yuli, yang berlaku adalah APBN-P. Apalagi APBN-P lebih mendekati kondisi riil menjelang tahun berikutnya. “APBN-P itu biasanya paling lambat disetujui pada Oktober,” jelasnya.

Ketiga, jika APBN-P tahun lalu akan diberlakukan karena DPR menolak RUU APBN, apakah APBN-P itu dapat diubah lagi? Yuli berpandangan bahwa DPR dan Pemerintah dapat mengubah APBN-P itu karena harus diusulkan dan dibahas lagi untuk proses penetapan. Selama proses RUU tentang Penetapan APBN-P itu, pemerintah dan parlemen dapat melakukan perubahan.

(Baca juga: Ketidaktransparanan Pembahasan APBN Jadi Celah Korupsi).

Dengan analisis terhadap implikasi yuridis penolakan RUU APBN itu, Yuli berpandangan government shutdown sulit terjadi di Indonesia jika dilihat dari sisi hukum.  “Jadi, tidak perlu khawatir,” paparnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Henry D. Hutagaol, menceritakan government shutdown bukan kali ini saja terjadi di Amerika Serikat. Peristiwa yang sama terjadi pada masa Presiden Ronald Reagan, Presiden Bill Clinton, Barack Obama, dan terakhir pada era Trump. Tetapi, shutdown terlama terjadi pada era Trump (35 hari shutdown).

Ditilik dari sejarahnya, government shutdown merupakan hasil penafsiran hukum terhadap US Constitution dan hukum federal. Penafsiran itu diberikan Benjamin Civiltetti, seorang Jaksa Agung Amerika Serikat era 1980-an. Civiletti menafsirkan jika Kongres tidak menyetujui spending bills yang diajukan Presiden, itu berarti Kongres tidak menyetujui kegiatan pemerintahan.

Penutupan kegiatan pemerintahan dikoordinasi the Office of Management and Budget (OMB). Sebagian pegawai pemerintah akan cuti. Namun sejumlah pelayanan esensial tetap harus dijalankan seperti keselamatan publik, perlindungan perbatasan, layanan medis rumah sakit, dan layanan penerbandangan bandara.

Tags:

Berita Terkait