Electoral Threshold Hanya Dikenal di Indonesia
Berita

Electoral Threshold Hanya Dikenal di Indonesia

Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menyederhanakan partai politik. Bisa dengan sistem pendepositoan uang atau meniru sistem parliamentary threshold seperti yang dianut Jerman.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Indra J. Piliang juga mempersoalkan asal mula penetapan prosentase 2 persen (1999) dan 3 persen (2004) electoral threshold. Apa dasar pemikirannya? Ia mengibaratkan kenaikan prosentase itu seperti kenaikan harga BBM. Apalagi, yang menentukan syarat minimal itu adalah partai-partai yang memang sudah memenuhinya. Sebaliknya, mengabaikan keberadaan partai-partai kecil.

 

Korelasi antara electoral threshold dengan penyederhanaan partai juga mendapat kritik dari hakim konstitusi H.A. Mukhtie Fadjar. Batas minimal perolehan suara baru dikenal dalam dua pemilu terakhir. Pada 1999 ditentukan sebesar 2 persen, dan pemilu 2004 sebesar 3 persen. Ternyata, sepanjang dua kali pemilu tersebut jumlah partai yang ikut pemilu tetap banyak.

 

Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM, Ramly Hutabarat, menegaskan bahwa aturan dan besaran prosentase electoral threshold merupakan pilihan kebijakan (legal policy) yang tak bisa diuji. Kecuali pilihan itu dilakukan dengan sewenang-wenang, ujarnya.

 

Menurut Ramly, electoral threshold tidak mengurangi hak warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Faktanya, pengurus partai masih bisa ikut pemilu walaupun partainya tidak lolos batas minimal 3 persen suara. Apalagi, UU Pemilu masih memungkinkan partai-partai itu bergabung membentuk koalisi atau mengganti identitas agar bisa ikut pemilu lagi.

 

Tags: