Idrus Marham Tersangka Kasus Suap PLTU Riau-1
Berita

Idrus Marham Tersangka Kasus Suap PLTU Riau-1

KPK menduga salah satu peran Idrus yaitu menerima komitmen fee AS$1,5 juta.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Idrus Marham usai diperiksa KPK. Foto: RES
Idrus Marham usai diperiksa KPK. Foto: RES

Teka-teki status Idrus Marham yang berkali-kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan kasus korupsi Proyek Pembangunan PLTU Riau-1 akhirnya terjawab. Mantan Menteri Sosial ini ternyata diduga kuat terlibat dalam perkara tersebut. KPK pun menetapkan Idrus sebagai tersangka kasus ini.

 

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, Idrus diduga bersama-sama Eni Maulani Saragih (EMS) Anggota Komisi VII DPR RI diduga telah menerima hadiah atau janji dari Johanes Budisutrisna Kotjo (JBK) Pemegang Saham BNR (Blackgold Natural Resources Limited), terkait kesepakatan kontrak kerjasama Pembangunan PLTU Riau-1.

 

Idrus diduga mengetahui dan memiliki andil dalam dua pemberian uang kepada Eni dari Kotjo. Pertama sekitar November-Desember 2017 diduga EMS menerima Rp4 Miliar, kedua sekitar bulan Maret dan Juni 2018 diduga sekitar Rp2,25 Miliar.

 

Kemudian Idrus yang dalam proses penerimaan ini sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar dan Menteri Sosial juga diduga berperan mendorong agar proses penandatanganan Purchase Power Agreement (PPM/jual beli) dalam proyek pembangunan PLTU mulut tambang Riau-1.

 

"Selain itu, IM juga diduga telah menerima janji untuk mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah EMS sebesar AS$1,5 juta yang dijanjikan JBK apabila PPA Proyek PLTU Riau 1 berhasil dilaksanakan oleh JBK dan kawan-kawan," kata Basaria di kantornya, Jumat (24/8).

 

Atas perbuatannya, Idrus disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Dalam penyidikan perkara awal yang sudah dilakukan sejak 14 Juli 2018 hingga hari ini sekurangnya penyidik telah memeriksa 28 orang saksi. Mereka terdiri dari para pejabat PT Pembangkit Jawa Bali lnvestasi (antara lain Presiden Direktur, Direktur Utama, Direktur Keuangan, Direktur Operasional, Direktur Pengembangan dan Niaga, Corporate Secretary).

 

Kemudian pegawai dan pejabat PT PLN seperti Direktur Pengadaan Strategis PT PLN (Persero), Pegawai PT PLN Batubara, Direktur PT. China Huadian Engineering Indonesia, termasuk Idrus yang memang pernah diperiksa beberapa kali.

 

Baca:

 

Idrus ditetapkan sebagai tersangka dalam dua posisi, pertama Plt Ketua Umum Partai Golkar dan kedua sebagai Menteri Sosial. Menurut Basaria, pihaknya tidak mempermasalahkan status tersebut karena posisi Idrus bersama-sama atau turut membantu Eni menerima suap.

 

Tapi dengan statusnya tersebut menjadi pertanyaan tersendiri apakah ada uang yang masuk ke partai. "Ya benar ya memang kebetulan memang beliau ini kan memang juga partai ya karena itu dia juga Plt sebagai Ketua DPP tapi kita tidak bisa menduga-duga apakah uang tersebut digunakan untuk partai apa tidak," kata Basaria.

 

Meskipun begitu pihaknya membuka kemungkinan untuk melakukan pengembangan ke arah tersebut. "Ya kalau pengembangan bisa saja tapi kita belum bisa buktikan itu apakah benar dipakai untuk partai," terangnya.

 

Sebelumnya, Idrus Marham menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Menteri Sosial kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta. “Pada hari ini tadi saya menghadap Presiden jam 10.30 WIB, saya lakukan setelah kemarin saya mendapat surat pemberitahuan tentang penyidikan saya," kata Idrus di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta sebagaimana dikutip dari Antara.

 

Ia menyebutkan berdasar pemberitahuan itu ia harus mengambil langkah sehingga ia menghadap ke Presiden untuk menyampaikan surat pengunduran diri selaku Mensos. Keputusan ini merupakan pertanggungjawaban moral dirinya kepada Presiden. Setidaknya ada tiga pertimbangan dirinya mengundurkan diri.

 

Pertama, untuk menjaga kehormatan Presiden yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang memiliki reputasi dan komitmen tinggi dalam pemberanfasan korupsi di Indonesia. Kedua, agar tidak menjadi beban bagi Presiden dan sekaligus yang mengganggu konsentrasi Presiden dalam tugas sehari hari yang tidak ringan.

"Jadi kalau misal saya tersangka dan masih ini itukan tidak etis dan secara moral tidak bisa diterima," katanya. Ketiga, adalah bahwa sebagai warga negara yang taat hukum, ia sepenuhnya menghormati proses hukum yang dilakukan KPK dan sekaligus dia ingin berkonsentrasi mengikuti proses hukum yang ada di KPK sesuai aturan yang ada dengan sebaik-baiknya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait