Dissenting Opinion di Mata Mantan Hakim Agung
Berita

Dissenting Opinion di Mata Mantan Hakim Agung

Apabila hakim menggunakan dakwaan berbeda, berarti dia dissenting opinion.

NOV
Bacaan 2 Menit
<i>Dissenting Opinion</i> di Mata Mantan Hakim Agung
Hukumonline

Idealnya, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, majelis hakim menggunakan mekanisme musyawarah mufakat untuk memutus suatu perkara. Namun, terkadang, musyawarah majelis tidak mencapai kesepakatan karena ada beberapa hakim anggota yang menyatakan pendapat berbeda atau biasa dikenal dissenting opinion.

Apabila musyawarah majelis tidak mencapai mufakat, sesuai Pasal 182 ayat (6) huruf a KUHAP, putusan diambil dengan suara terbanyak (voting). Jika suara terbanyak tidak diperoleh, maka Pasal 182 ayat (6) huruf b KUHAP mengatur, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim paling menguntungkan bagi terdakwa.

Nyatanya, ada perkara yang diputus majelis dengan menggunakan suara terbanyak, meski tidak terdapat suara mayoritas. Misalnya, dalam perkara yang baru-baru ini diputus Pengadilan Tipikor Jakarta. Majelis hakim memutus terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsidair.

Padahal, hanya ketua majelis hakim dan hakim anggota satu yang berpendapat terdakwa terbukti melakukan korupsi sebagaimana dakwaan subsidair. Sementara, hakim anggota dua menyatakan terbukti dakwaan primair dan dua hakim lainnya berpendapat terdakwa tidak terbukti bersalah.

Contoh seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah pendapat hakim yang menyatakan terbukti dakwaan primair dapat disamakan dengan pendapat dua hakim lainnya yang menyatakan terbukti dakwaan subsidair? Kemudian, apakah pendapat hakim tersebut termasuk kategori dissenting atau concurring opinion?

Mantan hakim agung Djoko Sarwoko menjelaskan, secara konsep, dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas. Semula dissenting opinion dan concurring opinion dikenal dalam sistem hukum negara common law.Sejak 2004, Indonesia mengadopsinya dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA.

Dissenting opinion itu semenjak awal pertimbangannya sudah berbeda. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Kalau concurring opinion, fakta hukumnya sama, pertimbangannya sama, tapi amar putusannya yang berbeda,” katanya kepada hukumonline, Rabu (24/7).

Apabila dalam suatu perkara yang dipegang lima majelis, dua hakim menyatakan terbukti dakwaan subsidair, satu primair, dan dua lainnya bebas, menurut Djoko, pendapat hakim yang menyatakan terbukti dakwaan primair termasuk dissenting opinion. Sebab, satu hakim menggunakan dakwaan berbeda.

Sama halnya dalam perkara yang menggunakan dakwaan kesatu primair dan/atau kedua primair. Apabila dua hakim menyatakan terbukti dakwaan kesatu primiar, satu hakim terbukti dakwaan kedua primair, dan dua hakim lainnya menyatakan bebas, maka satu hakim itu masuk kategori dissenting opinion.

Base statement dari sistem peradilan pidana kita adalah dakwaan. Kalau mengenai dakwaan sudah berbeda, artinya semenjak awal berbeda. Walau intinya sama-sama bersalah, ketika dalam menanggapi dakwaan sudah berbeda, itu masuk dissenting opinion karena berbeda dakwaannya,” ujar Djoko.

Sekalipun ada tiga dissenting opinion, ia melanjutkan, majelis tetap dapat mengambil keputusan. Jangan sampai dissenting opinion menghalangi pengambilan keputusan. Dalam mekanisme yang berlaku di MA misalnya, hakim agung dapat ditambah apabila perkara tidak dapat diputus karena ada dissenting opinion.

“Kalau di tingkat kasasi atau PK, semula ada tiga hakim agung, tapi ada dissenting opinion, sehingga tidak bisa dimusyawarahkan dan tidak bisa diputus. Bisa ditambah hakim agungnya menjadi lima. Kalau tidak bisa diputus juga, ditunjuk majelis baru. Saya pernah mengalami, akhirnya saya lepas,” tuturnya.

Djoko mengungkapkan, manakala perkara kasasi atau PK tetap tidak dapat diputus, meski telah ditunjuk majelis baru, perkara dibawa ke rapat pleno kamar. Namun, untuk pengadilan tingkat pertama memiliki mekanisme berbeda. Biasanya kalau suatu perkara tidak dapat diputus akan dibawa ke ketua pengadilan.

“Kalau ada dissenting opinion seperti itu akan dicatat di buku musyawarah. Waktu saya jadi ketua begitu. Ketua pengadilan punya buku musyawarah, tapi tetap majelis hakim yang bersangkutan yang memutus. Ketua pengadilan berperan menentukan perkara ini harus diputus,” terang mantan Ketua Muda Pidana Khusus MA ini.

Tags: