Ide Penggunaan E-voting dalam Pemilu Perlu Dikaji Ulang
Berita

Ide Penggunaan E-voting dalam Pemilu Perlu Dikaji Ulang

Di Belanda, pada 2006 muncul gelombang protes dan kampanye “we don’t trust the machince” untuk mempertanyakan penggunaan e-voting.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Titi, di beberapa negara yang menggunakan e-voting dan penghitungan suara elektronik atau e-counting pun bukan tanpa masalah. Di Filipina misalnya, meski sukses menggelar pemilu dengan e-counting, transmisi elektronik sering dipermasalahkan terkait keamanannya. Di Brazil, mesin e-voting tipe DRE (Direct Recording Electronic) tanpa VVPAT (Voter Verified Paper Audit Trail) selalu mengundang pertanyaan akan akurasi hasil pemilu. 

 

(Baca: Ingin Menggunakan e-Rekap, KPU Pelajari Pengalaman Negara Lain)

 

Karena itu, dari berbagai kasus yang terjadi, Titi menilai bahwa efisiensi tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan utama untuk memutuskan pilihan penggunan e-voting dalam pemilu. Menurutnya, teknologi informasi dalam pemilu mesti berpijak pada prinsip, bahwa ia difungsikan dalam rangka memenuhi prinsip utama pemilu, yakni bebas dan adil, termasuk menciptakan pemilu yang berintegritas (electoral integrity). 

 

“Dengan kata lain, apapun pilihan sistem teknologi informasinya, sistem tersebut harus memenuhi prinsip pemilu bebas dan adil,” ujar Titi.

 

Sementara itu peneliti Perludem, Heroik Pratama, mengatakan sistem teknologi yang dipilih semestinya merupakan jalan keluar satu-satunya dari permasalahan kepemiluan yang dihadapi oleh suatu negara, dan tak justru menimbulkan masalah baru. “Dengan demikian, pemetaan terhadap permasalahan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan teknologi informasi yang akan diterapkan,” ujar Heroik.

 

Menurut Heroik, cara yang dipakai di Indonesia, di mana hari pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) disebut-sebut sebagai cara memilih paling demokratis karena mampu menjaga prinsip kerahasian pilihan pemilih dan mendorong transparansi proses penghitungan suara. 

 

Pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara, namun ketika penghitungan suara dimulai dengan mekanisme membuka satu per-satu surat suara, pemilih kembali datang untuk menyaksikan proses penghitungan tersebut. “Dengan adanya mekanisme penghitungan suara yang dilakukan secara terbuka, secara tidak langsung mendorong hadirnya pengawasan partisipatif pemilih,” ujarnya.

 

Menurut Heroik, jika e-voting diterapkan, tentunya peralihan proses kepada mesin akan meminimalisir dimensi transparansi sekaligus menghilangkan pengawasan partisipatif dari publik karena tidak ada lagi mekanisme penghitungan suara terbuka di TPS. 

Tags:

Berita Terkait