Cyberbullying, Pelajaran dari Kasus Amanda Todd
Berita

Cyberbullying, Pelajaran dari Kasus Amanda Todd

Dampak perundungan di dunia siber sangat luas. Jejak digital sulit dihilangkan.

Muhammad Yasin/Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perundungan di dunia siber. Ilustrator: BAS
Ilustrasi perundungan di dunia siber. Ilustrator: BAS

Kisah perundungan digital (cyberbullying) yang berujung bunuh diri tragis Amanda Michelle Todd mungkin adalah salah satu catatan kelam peradaban abad 21. Seorang pelajar berusia 15 tahun di Kanada memutuskan bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungan yang terus dialaminya lewat media sosial. Bertahun-tahun berlalu sejak kematiannya, belum ada kejelasan soal mekanisme hukum apa yang tepat diterapkan di media internet untuk mencegah kasus seperti Amanda terulang lagi.

 

Kasus Amanda Todd itu disinggung dalam seminar tentang Memperbincangkan Kejahatan Siber yang diselenggarakan Institute for Digital Law and Society (Tordillas) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, akhir April lalu. Peneliti Tordillas, Bunga Meisa Siagian, menyebut kasus Amanda Todd sebagai pelajaran penting bagi Indonesia untuk mencegah dan mengatur perundungan digital, atau merundung seseorang di media sosial.

 

Dampak perundungan melalui siber sangat luas. Bukan saja karena jumlah pelaku perundungan banyak, tetapi juga kejahatan siber semacam itu tak mengenal batas-batas geografis negara. Bisa saja pelakunya di luar negeri, dan korbannya adanya di Indonesia. Penanganan kasus siber semakin kompleks karena potensi perbedaan sistem hukum yang berlaku. “Dampak cyberbullying itu bisa kemana-mana,” ujar Bunga kepada hukumonline, Rabu (9/5) kemarin.

 

(Baca juga: Dilema Cyberbullying dan Euforia Media Sosial)

 

Di Indonesia, perundungan di dunia siber sudah mulai terjadi, dan terungkap ke permukaan. Korban dipersekusi di dunia siber oleh banyak orang, bahkan ada yang berujung pada aksi kekerasan fisik. Persoalannya, kata Bunga, bukan saja karena perangkat hukum Indonesia lemah untuk mencegah, tetapi juga perhatian pada korban masih kurang. Perhatian pada korban sangat penting karena dampak perundungan tak hanya fisik, tetapi juga mental korban. Apalagi materi perundungan itu akan terus terekam dalam dunia siber. “Jejak digital sulit dihilangkan,” tegasnya.

 

Maka, kasus Amanda Todd dapat dijadikan pelajaran berharga dan perbandingan dalam mencegah kejahatan siber di Indonesia. Termasuk pula sebagai bahan untuk menambah aturan tentang perundungan di dunia siber dalam revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bunga berpendapat bahwa perhatian pada nasib korban dalam kasus perundungan sangat bergantung pada komitmen para pelaku kepentingan, terutama aparat penegak hukum.

 

Bagaimana sebenarnya kasus Amanda Todd? Berawal dari percakapan dengan teman baru di media sosial pada tahun 2010, Amanda terbujuk untuk memperlihatkan bagian sensitif dalam tubuhnya kepada pelaku via webcam. Tak disangka, pelaku sempat merekamnya untuk mengancam Amanda agar mau ‘‘berbuat’’ lebih jauh. Pelaku mengancam akan menyebarkan foto yang direkamnya ke teman-teman Amanda jika tidak bersedia memenuhi permintaan pelaku. Amanda menolak dan akhirnya foto tersebut benar-benar tersebar bahkan sangat luas di internet.

 

(Baca juga: 11 Istilah Penting dalam UU ITE Baru)

 

Banyak warganet yang tidak pernah mengenal Amanda secara langsung tiba-tiba merundungnya sebagai pelaku asusila. Berbagai hinaan untuk Amanda mengalir begitu saja sebagai percakapan viral di media sosial. Ironisnya, percakapan gosip yang telah tersebar sangat luas itu hanya dianggap sebagai lelucon tanpa peduli dampak serius bagi Amanda.

 

Amanda pindah sekolah bahkan pindah tempat tinggal untuk menjauhi lingkungan lama yang merundungnya. Ternyata jejak digital terus mengikuti Amanda ke mana saja ia berpindah. Perundungan semakin serius hingga Amanda depresi dan beberapa kali mencoba bunuh diri. Selamat dari upaya bunuh diri, warganet justru semakin ‘ganas’ merundung Amanda. Puncaknya, Amanda benar-benar tewas gantung diri pada akhir tahun 2012. Sebuah rekaman di kanal YouTube berjudul My story: Struggling, bullying, suicide and self-harm menjadi curahan derita yang disampaikan Amanda sebelum mengakhiri hidup.

 

Kisah tragis Amanda menarik perhatian dunia hingga berujung pada investigasi kriminal lintas negara. “Kasusnya sangat viral,” kata Bunga, peneliti Tordillas, alumnus Tilburg University.

 

Dilansir dari The Globe and Mail, otoritas Belanda menangkap seorang warga negaranya bernama Aydin Coban atas dugaan sejumlah pemerasan dan pengancaman lewat internet dengan modus yang sama terhadap Amanda. Para korbannya tersebar di Eropa dan Amerika Serikat baik laki-laki maupun perempuan. Aydin berusia 35 tahun saat ditangkap.

 

Penangkapan pada Januari 2014 itu sekaligus mengaitkan Aydin pada kasus cyberbullying yang dialami Amanda. Aydin didakwa juga sebagai pelaku yang memotret dan menyebarkan pertama kali foto Amanda. Dilansir dari BBC, Aydin dijatuhi hukum 11 tahun penjara oleh pengadilan Belanda pada Maret 2017.

 

Berdasarkan keterangan pengadilan Belanda yang dicatat CBC News, hukuman tersebut adalah yang paling berat bisa dijatuhkan sesuai tuntutan Jaksa. Berdasarkan penelusuran hukumonline, Aydin tidak dijatuhi hukuman berdasarkan dakwaan cyberbullying di Belanda. Namun pada tahun 2016 ia sempat diekstradisi ke Kanada untuk diadili terkait kasus Amanda.

Tags:

Berita Terkait