ICW Temukan Indikasi Kerugian Negara dari Transaksi Ekspor Batubara
Berita

ICW Temukan Indikasi Kerugian Negara dari Transaksi Ekspor Batubara

Tidak semua wajib pajak di sektor pertambangan mineral dan batubara mengikuti program tax amnesty yang dicanangkan pemerintah.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
ICW. Foto: RES
ICW. Foto: RES

Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil penelitiannya terhadap transaksi ekspor batubara keluar negeri sepanjang periode 2006 – 2016. Berdasarkan hasil penelusuran ICW, ditemukan adanya indikasi transaksi batubara yang tidak dilaporkan kepada otoritas Pemerintah sebesar US$ 27,062 miliar atau setara Rp365,3 triliun.

 

“Hal ini berdampak terhadap adanya indikasi kerugian negara, baik dari kewajiban perusahaan batubara untuk pajak penghasilan maupun royalti atau DHPB (Dana Hasil Penjualan Batubara) sebesar Rp133,6 triliun,’’ ujar peneliti ICW, Firdaus Ilyas, Jumat (20/11), di Jakarta.

 

Menurut Firdaus, fenomena offshore leaks, Panama Papers, dan Paradise Papers menjadi relevan untuk ditindak lanjuti lebih jauh oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), maupun aparat penegak hukum lainnya.

 

Hal ini mengingat belum optimalnya penerimaan negara baik dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) maupun Pajak di sektor Sumber Daya Alam. Berdasarkan data DJP, jumlah keseluruhan Wajib Pajak (WP) pertambangan mineral dan batubara (minerba) serta minyak dan gas (migas), terdapat 7.115 wajib pajak. Namun, dari keseluruhan jumlah tersebut, hanya 1.035 wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dicanangkan pemerintah.

 

(Baca Juga: Kebijakan Proyek Energi Menggunakan Batu Bara Menuai Kritik)

 

Firdaus memaparkan, jumlah wajib pajak orang pribadi dan badan di sektor pertambangan minerba sebanyak 6.001 wajib pajak. Dari jumlah tersebut, terdapat 967 wajib pajak orang pribadi dan badan yang mengikuti program tax amnesty, dengan total nilai uang tebusan sebesar Rp221,71 miliar.

 

Sementara itu, jumlah wajib pajak pertambangan migas sebanyak 1.114 wajib pajak. Yang mengikuti tax amnesty sebanyak 68 wajib pajak dengan total nilai tebusan sebesar Rp40,60 miliar. Data ini, menurut Firdaus masih merupakan data realisasi pada periode pertama penerapan tax amnesty. Namun menurut Firdaus, tidak akan banyak perubahan setelah periode kedua dan ketiga tax amnesty. “Di periode kedua dan ketiga tidak akan signifikan,” ujarnya.

 

Firdaus memaparkan kontribusi penerimaan pajak batubara sepanjang 2012-2016 berdasarkan data DJP. Pada tahun 2012, sektor batubara menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp28,94 triliun. Pada 2013 sebesar Rp20,25 triliun, dan mengalami penurunan lagi di 2014 sebesar Rp15,34. Sementara pada 2015 dan 2016, berturut-turut Rp16,02 dan Rp16,23 triliun.

 

Selanjutnya, berdasarkan data produksi batubara Indonesia selama periode 2006-2016, Kementerian ESDM mencatat total produksi batubara Indonesia adalah 3.315,2 juta ton. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode yang sama melaporkan data produksi batubara sebesar 3.266,2 juta ton. Dengan kata lain, terdapat selisih data produksi sebesar 49,1 juta ton.

 

(Baca Juga: Dinilai Masih Rendah, Pemerintah Kejar Penerimaan dari Perusahaan Minerba)

 

Sementara data ekspor batubara diperiode 2006-2016, Kementerian Perdagangan mencatat sebesar 3.421,6 juta ton. Sementara menurut catatan Kementerian ESDM, volume ekspor batubara Indonesia di periode yang sama sebesar 2.902,1 juta ton. Kembali terdapat perbedaan data ekspor sebanyak 519,6 juta ton.

 

Kemudian perbandingan nilai ekspor batubara Indoensia. Sepanjang 2006-2016 Kemendag (FOB Basis) mencatat nilai ekspor batubara Indonesia sebesar US$ 184,853 miliar. Sementara berdasarkan data negara pembeli (CIF Basis), total nilai impor batubara yang berasal dari Indonesia sebesar US$ 226,525 miliar. Terdapat selisih sebesar US$ 41,671 miliar.

 

Dari data-data tersebut, Firdaus menyampaikan bahwa ICW melakukan analisis kewajaran perdagangan batubara Indonesia selama periode 2006-2016. Metode yang digunakan untuk menganalisis kewajaran transaksi ekspor batubara adalah dengan membandingkan kewajaran transaksi baik nilai dan volume antara yang tercatat di Indonesia dengan yang tercatat di negara pembeli.

 

“Tolak ukurnya adalah dengan menggunakan arm’s length principle dan menggunakan Australia sebagai sesama negara eksportir batubara sebagai pembanding,” ujar Firdaus.

 

Jika ditemukan ketidakwajaran, maka dilakukan analisis lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan terutama yang berkaitan dengan kewajiban keuangan kepada negara, misalnya pembayaran royalty dan pajak.

 

Setelah kesemua analisis tersebut, Firdaus menyampaikan terdapat dugaan transaksi yang kurang dilaporkan. Selama periode 2006-2016 diindikasikan nilai transaksi perdagangan batubara (ekspor) yang kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar mencapai US$ 27,062 miliar dimana rinciannya sebesar US$ 1,455 miliar tahun 2006 dan mengalami kenaikan pada periode 2010-2013 dan terakhir pada tahun 2016 sebesar US$ 2,917 miliar.

 

Dari total nila transkasi yang kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar mencapai US$ 27,062 miliar akan berakibat pada kewajiban kepada keuangan negara, bak ruoalti maupun pajak. Secara keseluruhan nilai indikasi kerugian negara mencapai Rp. 133,6 triliun. Dari kewajiban pajak sebesar Rp 95,2 triliun dan royalty (DHPB) sebesar Rp38,5 triliun.

 

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pernah menegaskan akan mengejar potensi penerimaan dari wajib pajak perusahaan pertambangan mineral dan batubara (minera). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selama ini sumbanganpara perusahaan tersebut terhadap pendapatan negara masih sangat rendah.

 

"Kami melihat potensi pajak pengusaha minerba masih rendah," kata Sri Mulyani.

 

Tags:

Berita Terkait